Problem Posing dalam Pembelajaran Matematika
Problem Posing dalam Pembelajaran
Matematika
Oleh:
Dede
Nurhidayah
PENDAHULUAN
Matematika merupakan mata pelajaran
yang diajarkan di setiap tingkatan sekolah, mulai dari sekolah dasar sampai
perguruan tinggi. Matematika merupakan ilmu yang mempunyai peran penting dalam
memajukan daya pikir manusia yang mendasari perkembangan teknologi modern dan
digunakan sebagai alat penting di berbagai bidang, termasuk ilmu alam, teknik,
kedokteran/medis, dan ilmu sosial. Oleh karena itu, pembelajaran matematika
sangat perlu diberikan di sekolah dasar sesuai dengan Standar Isi yang tertera
pada Permendiknas No 22 Tahun 2006, yang menyatakan bahwa:
Mata pelajaran Matematika perlu
diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali
peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis,
dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Kompetensi tersebut diperlukan agar
peserta didik dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan
informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti,
dan kompetitif.
Namun, pada kenyataannya sebagian besar
siswa menganggap bahwa matematika merupakan mata pelajaran yang sulit untuk
dipahami. Sehingga dalam proses pembelajaran matematika, guru sering menemukan
beberapa permasalahan yang harus dihadapi. Salah satunya pada saat proses
pembelajaran berlangsung, siswa lebih sering duduk, diam, mendengarkan, dan
mencatat tanpa memahami maksud maupun konsep yang telah mereka dengar dan catat.
Proses pembelajaran hanya berlangsung satu arah dengan pembelajaran teacher centered.
Meskipun demikian, guru diharapkan
mampu mengajak siswa untuk aktif berpartisipasi dalam proses pembelajaran. Salah
satunya melalui pembelajaran dengan pendekatan problem posing. Melalui pendekatan ini dapat memberikan rangsangan
kepada siswa untuk mengembangkan pengetahuannya dengan cara yang mudah dan
murah. Pengetahuan yang dapat dikembangkan siswa melalui pendekatan ini adalah
pengetahuan dari yang sederhana hingga pada pengetahuan yang kompleks.
Selain itu, dengan pendekatan ini, tidak
hanya memberikan kesempatan bagi siswa untuk menunjukkan apa yang mereka
ketahui dan dapat dilakukan dengan pengetahuan matematika mereka; juga
memungkinkan guru untuk mengamati pola siswa dalam belajar dan berpikir
matematika. Sehingga, dengan pendekatan problem
posing ini memberikan keluasan siswa untuk belajar secara mandiri dengan merumuskan
masalahnya (lebih khusus soal) sendiri dan menyelesaikan masalah yang
diajukannya. Dalam makalah ini, akan dijelaskan mengenai pengertian dari problem posing dan bagaimana
penerapannya dalam pembelajaran matematika.
PENGERTIAN
PROBLEM POSING
Problem posing telah menjadi kecenderungan
pembelajaran matematika saat ini. Reformasi pembelajaran matematika terkini
merekomendasikan penerapan problem posing dalam pembelajaran matematika (Christou, dkk., 1999). Problem posing sesungguhnya bukan ide
baru dalam pembelajaran matematika, melainkan telah diperkenalkan dan diteliti
di berbagai negara, seperti Amerika, Inggris, Australia, Jepang, dan Singapura
pada beberapa dekade yang lalu. Menurut Brown dan Walter (2005, hlm. 9), pada
tahun 1989 untuk pertama kalinya istilah problem
posing diakui secara resmi oleh National
Council of Teacher of Mathematics (NCTM) dalam Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics. Selanjutnya
istilah ini dipopulerkan dalam berbagai media seperti buku teks, jurnal serta
menjadi saran yang konstruktif dan mutakhir dalam pembelajaran matematika.
Jika dilihat dari segi bahasa, problem posing berasal dari bahasa
Inggris yang artinya “mengajukan masalah” atau dapat dipadankan menjadi “mengajukan
soal”. Sebuah soal dikatakan masalah jika soal tersebut merupakan soal yang
sulit dan penuh tantangan. Kilpatrick (dalam
English dan Halford, 1995, hlm. 258) menyatakan bahwa “Problem posing is an important companion to problem solving and lies at
the heart of mathematical activity”. Sejalan
dengan pernyataan tersebut, Silver (1994) menyatakan bahwa “problem posing is central to the discipline
of mathematics and the nature of mathematical thinking”.
Dunker (dalam Abu-Elwan, 1999, hlm. 5) menyatakan
bahwa “problem posing in mathematics as
the generation of a new problem or the formulation of a given problem”. Dengan
arti yang sama, Silver (1994) menjelaskan bahwa “problem posing as it is refers to both the generation of new problems
and the re-formulation of given problems, posing can occur before, during or
after the solution of a problem”. Pendapat lain, Stoyanova dan Ellerton
(1996) mendefinisikan problem posing
dalam matematika adalah “as the process
by which, on the basis of mathematical experience, students construct personal
interpretations of concrete situations and formulate them as meaningful
mathematical problems”.
Pada prinsipnya, pendekatan
pembelajaran problem posing adalah suatu
pembentukan atau pengajuan soal yang dibuat oleh siswa secara mandiri dengan
perubahan agar lebih sederhana dan dapat dikuasai. Soal yang dibuat dapat
berupa soal baru atau penyederhanaan soal yang sudah ada. Misalnya, untuk membuat soal dapat
dilakukan dengan mengubah informasi yang terdapat pada soal yang telah
dikerjakan, seperti mengubah bilangan, operasi, syarat, atau konteks soal
tersebut.
PROBLEM POSING
DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Dalam pembelajaran matematika, problem posing merupakan suatu
pendekatan yang menekankan pada perumusan soal. Dengan bimbingan guru, siswa
merumuskan soal dalam rangka memecahkan soal yang lebih kompleks. Brown dan
Walter (2005), menyatakan bahwa soal dapat dirumuskan melalui beberapa situasi,
antara lain: gambar, benda manipulatif, permainan, teorema/konsep, alat peraga,
soal, dan solusi dari suatu soal.
Brown dan Walter (2005, hlm. 12)
menyatakan bahwa problem posing dalam
pembelajaran matematika memiliki dua tahap kognitif yaitu Accepting (menerima) dan Challenging
(menantang). Tahap menerima adalah suatu kegiatan dimana siswa dapat menerima
situasi – situasi yang diberikan guru atau siatuasi-situasi yang sudah
ditentukan. Tahap menantang adalah suatu kegiatan dimana siswa menantang
situasi yang diberikan guru dalam rangka pembentukan atau perumusan soal. Pada
tahap menantang ini dilakukan dengan empat kegiatan, yaitu (1) membuat daftar
atribut yang ada pada situasi, (2) menantang atribut pada daftar dengan atribut
lain yang relevan dengan atribut tersebut, (3) membuat/mengajukan pertanyaan,
dan (4) menganalisis pertanyaan.
Silver (1997) mengklasifikasikan tiga
aktivitas kognitif dalam pembuatan soal sebagai berikut.
1. Pre-solution
posing,
yaitu pembuatan soal berdasarkan situasi atau informasi yang diberikan.
2. Within-solution
posing,
yaitu pembuatan atau formulasi soal yang sedang diselesaikan. Maksudnya, siswa
menyederhanakan soal yang sedang dikerjakan agar menjadi lebih mudah.
3. Post-solution
posing.
Strategi ini juga disebut sebagai strategi “find
a more challenging problem”. Siswa memodifikasi atau merevisi tujuan atau
kondisi soal yang telah diselesaikan untuk menghasilkan soal-soal baru yang
lebih menantang. Pembuatan soal demikian merujuk pada strategi “what-if-not …?” atau ”what happen if …”. Beberapa teknik yang
dapat digunakan untuk membuat soal dengan strategi itu adalah sebagai berikut.
a. Mengubah informasi atau data pada soal
semula
b. Menambah informasi atau data pada soal
semula
c. Mengubah nilai data yang diberikan,
tetapi tetap mempertahankan kondisi atau situasi soal semula.
d. Mengubah situasi atau kondisi soal
semula, tetapi tetap mempertahankan data atau informasi yang ada pada soal
semula.
Adapun situasi dalam pembelajaran problem posing diklasifikasikan menjadi
tiga, yaitu situasi bebas, semi terstruktur dan terstruktur (Stoyanova dan
Ellerton, 1996; Abu-Elwan, 2002). Berikut penjelasan dari ketiga situasi
tersebut.
1. Situasi problem posing bebas (Free
Problem Posing Situations), siswa diberikan kesempatan yang seluas-luasnya
untuk mengajukan soal sesuai dengan apa yang dikehendaki. Siswa dapat
menggunakan fenomena dalam kehidupan sehari-hari sebagai acuan untuk mengajukan
soal.
2. Situasi problem posing semi terstruktur (Semi-Structured Problem Posing Situations), siswa diberikan
situasi/informasi terbuka. Kemudian siswa diminta untuk mengajukan soal dengan
mengaitkan informasi itu dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya. Situasi
dapat berupa gambar atau informasi yang dihubungkan dengan konsep tertentu.
3. Situasi problem posing terstruktur (Structured
Problem Posing Situation), siswa diberi soal atau selesaian soal tersebut,
kemudian berdasarkan hal tersebut siswa diminta untuk mengajukan soal baru.
PENILAIAN
DALAM PROBLEM POSING
Silver dan Cai (dalam Lin dan Leng,
2008) mengategorikan soal yang dirumuskan siswa dalam tiga bagian yaitu
pertanyaan matematika, pertanyaan non-matematika, dan pernyataan. Pertanyaan
matematika adalah pertanyaan yang mengandung masalah matematika dan mempunyai
kaitan dengan informasi yang ada pada situasi inti. Pertanyaan matematika
dibagi lagi menjadi pertanyaan yang dapat diselesaikan dan pertanyaan yang
tidak dapat diselesaikan. Pertanyaan yang tidak dapat diselesaikan adalah
pertanyaan yang memiliki informasi yang tidak cukup atau tujuan pertanyaan
tidak sesuai dengan informasi yang diberikan. Berbagai respon yang muncul dalam
pembelajaran problem posing
digambarkan sebagai berikut.
Responses
|
Non-math Questions
|
Math Questions
|
Statements
|
Solvabe
|
Non-solvabe
|
Semantic Analysis
|
Linguistic Syntatic Analysis
|
Gambar 1. Jenis Respon Siswa terhadap
Matematika
menurut Silver dan Cai
Seorang siswa dikatakan sudah dapat
membentuk soal jika siswa tersebut sudah dapat membuat pertanyaan matematika
yang dapat diselesaikan dan yang sesuai dengan situasi yang diberikan.
Selain itu Silver (1994) mengelompokkan
kesukaran masalah yang dibuat siswa dalam dua jenis. Pertama kesukaran yang
berkaitan dengan struktur bahasa (sintaksis), dan kedua kesukaran yang
berkaitan dengan struktur matematika (semantik) dalam masalah yang dibuat
siswa. Kesukaran yang berkaitan dengan struktur bahasa dapat dilihat dari
proposisi yang terkandung pada masalah yang dibentuk siswa. Menurut Mayer, dkk.
(dalam Surtini, Hardjo, & Badjuri, 2003) terdapat tiga proposisi yang ada dalam soal matematika,
yaitu proposisi penugasan, proposisi hubungan dan proposisi pengandaian
(kondisional). Sedangkan kesukaran yang berkaitan dengan struktur matematika
dalam masalah yang dibentuk siswa dapat dilihat melalui dua cara, yaitu dengan
menghitung banyaknya kombinasi operasi aritmatika yang digunakan atau
menghitung banyaknya langkah-langkah penyelesaian yang diperlukan untuk
penyelesaian masalah dan dengan cara menghitung hubungan semantiknya. Marshall
(dalam Surtini, Hardjo, & Badjuri, 2003) menggunakan skema klasifikasi
masalah untuk mengelompokkan masalah yang dibentuk siswa ditinjau dari hubungan
semantiknya, yaitu: mengubah, mengelompokkan, membandingkan, menyatakan
kembali, dan memvariasi.
Sampai saat ini, banyak peneliti telah
menggunakan beberapa kerangka kerja yang berbeda untuk menilai pemahaman siswa
tentang tugas problem posing.
Diantaranya, Silver dan Cai (dalam Rosli, Goldsby, & Capraro, 2013) menyarankan
kriteria umum yang berfokus pada kuantitas, orisinalitas, dan kompleksitas dari
masalah yang diajukan. Kriteria tersebut mirip dengan klasifikasi masalah oleh
Yuan & Sriraman (2010), yaitu: kelancaran, fleksibilitas, dan orisinalitas.
Namun, diantara kedua studi tersebut tidak ada yang menjelaskan secara pasti
tentang penyekoran problem posing.
Lin dan Leng (2008) menyatakan bahwa problem posing dapat pula dinilai dari
aspek kompleksitas yang meliputi kompleksitas hubungan antarkonsep matematis,
tingkat kesulitan, dan kompleksitas susunan bahasa yang digunakan. Kompleksitas
soal dapat diklasifikasikan ke dalam kategori rendah, sedang, dan tinggi. Pengategorian
ditinjau dari aspek bernalar, melakukan prosedur matematis, memahami konsep,
atau menyelesaikan masalah. Soal dengan tingkat kompleksitas rendah biasanya
berupa soal yang mencakup aspek mengingat kembali sifat-sifat. Soal dengan
tingkat kompleksitas sedang adalah soal yang memuat hubungan antara dua sifat,
sedangkan soal dengan tingkat kompleksitas tinggi mencakup analisis
asumsi-asumsi yang dibuat dalam model matematis. Menurut Lin dan Leng (2008), berikut
adalah karakteristik soal masing-masing kategori tersebut.
Rendah
|
Sedang
|
Tinggi
|
1.
Mengingat
atau mengenali fakta, istilah, atau sifat-sifat
2.
Menghitung
jumlah, selisih, hasil kali, atau pembagian
3.
Melakukan
prosedur matematis yang ditentukan
4.
Menyelesaikan
soal dengan satu tahap penyelesaian
5.
Mengambil
informasi dari grafik, tabel, atau gambar.
|
1.
Merepresentasikan
situasi secara matematis dengan lebih dari satu cara
2.
Memberikan
pembenaran pada langkah-langkah saat proses penyelesaian masalah
3.
Menginterpretasikan
representasi visual
4.
Menyelesaikan
soal dengan beberapa tahap
5.
Memperluas
pola
6.
Mengambil
informasi dari grafik, tabel, atau gambar dan menggunakannya untuk
menyelesaikan suatu masalah
7.
Menginterpretasikan
penjelasan sederhana.
|
1.
Mendeskripsikan
berbagai representasi berbeda untuk menyelesaikan masalah
2.
Melakukan
prosedur matematis yang melibatkan beberapa tahap dan beberapa poin keputusan
3.
Menggeneralisasi
pola
4.
Menyelesaikan
masalah dengan lebih dari satu cara
5.
Menjelaskan
dan membenarkan solusi untuk suatu masalah
6.
Mendeskripsikan,
membandingkan, dan mengontraskan metode-metode penyelesaian
7.
Menganalisis
asumsi-asumsi dalam proses solusi
8.
Memberikan
pembenaran matematis.
|
Tabel 1. Kategori Soal Berdasarkan
Kompleksitas Soal
Kulm (dalam dalam Rosli, Goldsby, &
Capraro, 2013) merancang penilaian problem
posing dengan menggunakan rubrik berbasis proses yang berdasarkan pada
pemahaman konsep, solusi, kreativitas, dan solusi dari masalah pasangan (dalam
pembelajaran berkelompok). Siswa diberikan 1, 2, atau 4 poin untuk setiap
kategori yang dinilai. Berikut merupakan rubrik berbasis proses.
Rubrik
Berbasis Proses
|
|||
Aspek
|
4
|
2
|
1
|
Pemahaman
Konsep
|
Pemahaman
yang menyeluruh
|
Paham
sebagian
|
Miskin
pemahaman
|
Solusi
dari Masalah
|
Semuanya
benar
|
Sebagian
benar
|
Mencoba
untuk memecahkan
|
Kreativitas
dari Masalah
|
Seluruhnya
berbeda dari teks
|
Agak
berbeda dari teks
|
Sama
dengan teks
|
Solusi
dari Masalah Partner
|
Semuanya
benar
|
Sebagian
benar
|
Mencoba
untuk memecahkan
|
Tabel 2. Rubrik Berbasis Proses pada
Penilaian Problem Posing
LANGKAH-LANGKAH
PEMBELAJARAN PROBLEM POSING
Pembelajaran dengan pengajuan soal
menurut Menon (dalam Siswono, 2000) dapat dilakukan dengan tiga cara berikut :
1. Berikan kepada siswa soal cerita tanpa
pertanyaan, tetapi semua informasi yang diperlukan untuk memecahkan soal
tersebut ada. Tugas siswa adalah membuat pertanyaan berdasar informasi tersebut.
2. Guru menyeleksi sebuah topik dan
meminta siswa untuk membagi kelompok. Tiap kelompok ditugaskan membuat soal
cerita sekaligus penyelesaiannya. Kemudian soal-soal tersebut dipecahkan oleh
kelompok-kelompok lain. Sebelumnya soal diberikan kepada guru untuk diedit
tentang kebaikan dan kesiapannya. Soal-soal tersebut kemudian digunakan sebagai
latihan. Nama pembuat soal tersebut ditunjukkan, tetapi solusinya tidak.
Soal-soal tersebut didiskusikan dalam masing-masing kelompok dan kelas. Hal ini
akan memberi nilai komunikasi dan pengalaman belajar. Diskusi tersebut seputar
apakah soal tersebut ambigu atau cukup tidaknya informasi. Soal yang dibuat
siswa tergantung interes siswa masing-masing. Sebagai perluasan, siswa dapat
menanyakan soal cerita yang dibuat secara individu.
3.
Siswa
diberikan soal dan diminta untuk mendaftar sejumlah pertanyaan yang berhubungan
dengan masalah. Sejumlah pertanyaan kemudian diseleksi dari daftar tersebut
untuk diselesaikan. Pertanyaan dapat bergantung dengan pertanyaan lain. Bahkan
dapat sama, tetapi kata-katanya berbeda. Dengan mendaftar pertanyaan yang
berhubungan dengan masalah tersebut akan membantu siswa "memahami
masalah".
Langkah-langkah itu dapat dimodifikasi,
misalnya siswa dibuat berpasangan. Dalam satu pasang siswa membuat soal dengan
penyelesaiannya. Soal tanpa penyelesaian saling dipertukarkan antar pasangan
lain atau dalam satu pasang. Siswa diminta mengerjakan soal temannya dan saling
koreksi berdasar penyelesaian yang dibuatnya.
IMPLEMENTASI PROBLEM POSING DALAM PEMBELAJARAN
MATEMATIKA
Langkah-langkah
Konkrit Penerapan Pendekatan Problem Posing di Kelas
Pertemuan selama
2 jam pelajaran (2 x 35 menit) dengan
pokok bahasan Operasi Hitung Bilangan Cacah.
1.
Perencanaan
Pada pertemuan pertama, sebelumnya guru akan mempersiapkan
bahan yang akan diajarkan dengan membuat rancangan pembelajaran (RPP). Dimana
tujuan dari pembelajaran ini adalah siswa dapat melakukan operasi hitung
bilangan cacah dan dapat menerapkannya dalam menyelesaikan soal.
Tahap persiapan
1)
Guru memilih pokok bahasan, yaitu operasi hitung bilangan
cacah untuk kelas IV
2)
Guru membuat rancangan pembelajaran (RPP)
3)
Membuat soal-soal tes dan kuis.
2.
Pelaksanaan
Pada pembelajaran, guru akan melakukan beberapa langkah
sesuai dengan RPP yang telah disusunnya yaitu sebagai berikut:
a.
Pembukaan
1)
Guru membuka pelajaran
a)
Salam Pembuka
b)
Mengabsen Siswa
2)
Guru memberi apersepsi dan motivasi pada siswa dengan
permasalahan yang ada dalam kehidupan sehari-hari.
3)
Menjelaskan kompetensi yang akan dicapai
4)
Menjelaskan model pembelajaran
b.
Kegiatan inti
1)
Guru memerintahkan
siswa duduk dalam kelompok yang
telah dibagi secara .
2)
Guru menjelaskan konsep serta memberikan contoh materi
Operasi Hitung Bilangan Cacah.
3)
Melalui Tanya jawab guru melakukan pengecekan terhadap pengetahuan yang dimiliki siswa.
4)
Kemudian guru menugaskan siswa untuk bekerja secara kelompok
membuat soal yang berhubungan dengan materi pembelajaran.
5)
Siswa secara kelompok
menjawab soal yang telah dibuat oleh kelompok lain.
c.
Kegiatan Penutup
1)
Guru bersama siswa menyimpulkan materi pelajaran
2)
Guru memberikan kuis dalam waktu 15 menit.
3)
Siswa mengumpulkan jawaban kuis.
4)
Guru mengucapkan salam penutup.
PENUTUP
Pada prinsipnya, pendekatan pembelajaran problem posing adalah suatu pendekatan
pembelajaran yang mewajibkan para siswa untuk mengajukan soal sendiri melalui
belajar soal (berlatih soal) secara mandiri. Problem posing juga dapat dijadikan alternatif untuk mengembangkan
keterampilan siswa guna meningkatkan kemampuan siswa dalam menerapkan konsep
matematika.
Pengajuan soal (problem
posing) diharapkan dapat membantu para pendidik (guru) dalam mengatasi
kesulitan mengajar dan memberi alternatif cara menyampaikan bahan ajar. Bila
kita berani dan mau mencoba maka perubahan dan kemajuan dalam pembelajaran
maupun usaha meningkatkan kemampuan siswa sedikit demi sedikit akan tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
Abu-Elwan, R.
(1999). The development of mathematical problem posing skills for prospective
middle school teachers. In Rogerson, A. (Ed.), Proceedings of the International conference on Mathematical Education
into 21st Century, 7 (1), hlm.
1-8.
Abu-Elwan, R.
(2002). Effectiveness of problem posing strategies on prospective mathematics
teachers’ problem solving performance. Journal
of Science and Mathematics Education in S.E. Asia, 25 (1), hlm. 56-69.
Badan Standar
Nasional Pendidikan. (2006). Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi untuk Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas.
Brown, S.I., dan
Walter, M.I. (2005). The Art of Problem
Posing (3rd Ed). Mahwah, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
Christou, C.
(1999). An empirical taxonomy of problem posing processes. Zentralblatt für Didaktik der Mathematik (ZDM) – The International
Journal on Mathematics Education, 37
(03), hlm. 149-158.
English, L.D. &
Halford, G.S. (1995). Mathematics
Education: Models and Processes. Mahwah, New Jersey: Lawrence Erlbaum
Associates, Inc.
Lin, K.M. &
Leng, L.W. (2008). Using problem-posing as an assessment tool. Paper presented at the 10th Asia-Pacific
Conference on Giftedness, Singapore.
Rosli, R.,
Goldsby, D., & Capraro, M.M. (2013). Assessing students’ mathematical
problem-solving and problem-posing skills. Asian
Social Science, 9 (16), hlm. 54-60.
Silver, E.A.
(1994). On mathematical problem posing. For
the Learning of Mathematics, 14 (1), hlm. 19-28.
Silver, E. A.
(1997). Fostering creativity through instruction rich in mathematical problem
solving and problem posing. Zentralblatt
für Didaktik der Mathematik (ZDM) – The International Journal on Mathematics
Education, 79 (3), hlm. 75-80.
Siswono, Tatag
Y.E. (2000). Pengajuan soal (problem posing) oleh siswa dalam pembelajaran
geometri di SLTP. Seminar Nasional
Pengajaran Matematika di Sekolah Menengah, Surabaya: ITS.
Stoyanova, E.
dan Ellerton, N.F. (1996). A framework for research into students' problem
posing in school mathematics. In P. Clarkson (Ed.), Technology in mathematics education (hlm. 518–525). Melbourne:
Mathematics Education Research Group of Australasia.
Surtini, T.,
Hardjo, S., & Badjuri. (2003). Laporan
penelitian implementasi problem posing pada pembelajran operasi hitung bilangan
cacah siswa kelas IV SD di Salatiga. Semarang: Universitas Terbuka.
Yuan, X., &
Sriraman, B. (2010). An exploratory study of relationships between students’
creativity and mathematical problem-posing abilities. In B. Sriraman, & K.
H. Lee (Eds.), The elements of creativity
and giftedness in mathematics, hlm. 5-28.
Comments
Post a Comment