Problem Posing dalam Pembelajaran Matematika

Problem Posing dalam Pembelajaran Matematika

Oleh:
Dede Nurhidayah

PENDAHULUAN
Matematika merupakan mata pelajaran yang diajarkan di setiap tingkatan sekolah, mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Matematika merupakan ilmu yang mempunyai peran penting dalam memajukan daya pikir manusia yang mendasari perkembangan teknologi modern dan digunakan sebagai alat penting di berbagai bidang, termasuk ilmu alam, teknik, kedokteran/medis, dan ilmu sosial. Oleh karena itu, pembelajaran matematika sangat perlu diberikan di sekolah dasar sesuai dengan Standar Isi yang tertera pada Permendiknas No 22 Tahun 2006, yang menyatakan bahwa:
Mata pelajaran Matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Kompetensi tersebut diperlukan agar peserta didik dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif.
Namun, pada kenyataannya sebagian besar siswa menganggap bahwa matematika merupakan mata pelajaran yang sulit untuk dipahami. Sehingga dalam proses pembelajaran matematika, guru sering menemukan beberapa permasalahan yang harus dihadapi. Salah satunya pada saat proses pembelajaran berlangsung, siswa lebih sering duduk, diam, mendengarkan, dan mencatat tanpa memahami maksud maupun konsep yang telah mereka dengar dan catat. Proses pembelajaran hanya berlangsung satu arah dengan pembelajaran teacher centered.
Meskipun demikian, guru diharapkan mampu mengajak siswa untuk aktif berpartisipasi dalam proses pembelajaran. Salah satunya melalui pembelajaran dengan pendekatan problem posing. Melalui pendekatan ini dapat memberikan rangsangan kepada siswa untuk mengembangkan pengetahuannya dengan cara yang mudah dan murah. Pengetahuan yang dapat dikembangkan siswa melalui pendekatan ini adalah pengetahuan dari yang sederhana hingga pada pengetahuan yang kompleks.
Selain itu, dengan pendekatan ini, tidak hanya memberikan kesempatan bagi siswa untuk menunjukkan apa yang mereka ketahui dan dapat dilakukan dengan pengetahuan matematika mereka; juga memungkinkan guru untuk mengamati pola siswa dalam belajar dan berpikir matematika. Sehingga, dengan pendekatan problem posing ini memberikan keluasan siswa untuk belajar secara mandiri dengan merumuskan masalahnya (lebih khusus soal) sendiri dan menyelesaikan masalah yang diajukannya. Dalam makalah ini, akan dijelaskan mengenai pengertian dari problem posing dan bagaimana penerapannya dalam pembelajaran matematika.

PENGERTIAN PROBLEM POSING
Problem posing telah menjadi kecenderungan pembelajaran matematika saat ini. Reformasi pembelajaran matematika terkini merekomendasikan penerapan problem posing dalam pembelajaran matematika (Christou, dkk., 1999). Problem posing sesungguhnya bukan ide baru dalam pembelajaran matematika, melainkan telah diperkenalkan dan diteliti di berbagai negara, seperti Amerika, Inggris, Australia, Jepang, dan Singapura pada beberapa dekade yang lalu. Menurut Brown dan Walter (2005, hlm. 9), pada tahun 1989 untuk pertama kalinya istilah problem posing diakui secara resmi oleh National Council of Teacher of Mathematics (NCTM) dalam Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics. Selanjutnya istilah ini dipopulerkan dalam berbagai media seperti buku teks, jurnal serta menjadi saran yang konstruktif dan mutakhir dalam pembelajaran matematika.
Jika dilihat dari segi bahasa, problem posing berasal dari bahasa Inggris yang artinya “mengajukan masalah” atau dapat dipadankan menjadi “mengajukan soal”. Sebuah soal dikatakan masalah jika soal tersebut merupakan soal yang sulit dan penuh tantangan.  Kilpatrick (dalam English dan Halford, 1995, hlm. 258) menyatakan bahwa “Problem posing is an important companion to problem solving and lies at the heart of mathematical activity”. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Silver (1994) menyatakan bahwa “problem posing is central to the discipline of mathematics and the nature of mathematical thinking”.
Dunker (dalam Abu-Elwan, 1999, hlm. 5) menyatakan bahwa “problem posing in mathematics as the generation of a new problem or the formulation of a given problem”. Dengan arti yang sama, Silver (1994) menjelaskan bahwa “problem posing as it is refers to both the generation of new problems and the re-formulation of given problems, posing can occur before, during or after the solution of a problem”. Pendapat lain, Stoyanova dan Ellerton (1996) mendefinisikan problem posing dalam matematika adalah “as the process by which, on the basis of mathematical experience, students construct personal interpretations of concrete situations and formulate them as meaningful mathematical problems”.
Pada prinsipnya, pendekatan pembelajaran problem posing adalah suatu pembentukan atau pengajuan soal yang dibuat oleh siswa secara mandiri dengan perubahan agar lebih sederhana dan dapat dikuasai. Soal yang dibuat dapat berupa soal baru atau penyederhanaan soal yang sudah ada. Misalnya, untuk membuat soal dapat dilakukan dengan mengubah informasi yang terdapat pada soal yang telah dikerjakan, seperti mengubah bilangan, operasi, syarat, atau konteks soal tersebut.

PROBLEM POSING DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Dalam pembelajaran matematika, problem posing merupakan suatu pendekatan yang menekankan pada perumusan soal. Dengan bimbingan guru, siswa merumuskan soal dalam rangka memecahkan soal yang lebih kompleks. Brown dan Walter (2005), menyatakan bahwa soal dapat dirumuskan melalui beberapa situasi, antara lain: gambar, benda manipulatif, permainan, teorema/konsep, alat peraga, soal, dan solusi dari suatu soal.
Brown dan Walter (2005, hlm. 12) menyatakan bahwa problem posing dalam pembelajaran matematika memiliki dua tahap kognitif yaitu Accepting (menerima) dan Challenging (menantang). Tahap menerima adalah suatu kegiatan dimana siswa dapat menerima situasi – situasi yang diberikan guru atau siatuasi-situasi yang sudah ditentukan. Tahap menantang adalah suatu kegiatan dimana siswa menantang situasi yang diberikan guru dalam rangka pembentukan atau perumusan soal. Pada tahap menantang ini dilakukan dengan empat kegiatan, yaitu (1) membuat daftar atribut yang ada pada situasi, (2) menantang atribut pada daftar dengan atribut lain yang relevan dengan atribut tersebut, (3) membuat/mengajukan pertanyaan, dan (4) menganalisis pertanyaan.
Silver (1997) mengklasifikasikan tiga aktivitas kognitif dalam pembuatan soal sebagai berikut.
1.      Pre-solution posing, yaitu pembuatan soal berdasarkan situasi atau informasi yang diberikan.
2.      Within-solution posing, yaitu pembuatan atau formulasi soal yang sedang diselesaikan. Maksudnya, siswa menyederhanakan soal yang sedang dikerjakan agar menjadi lebih mudah.
3.      Post-solution posing. Strategi ini juga disebut sebagai strategi “find a more challenging problem”. Siswa memodifikasi atau merevisi tujuan atau kondisi soal yang telah diselesaikan untuk menghasilkan soal-soal baru yang lebih menantang. Pembuatan soal demikian merujuk pada strategi “what-if-not …?” atau ”what happen if …”. Beberapa teknik yang dapat digunakan untuk membuat soal dengan strategi itu adalah sebagai berikut.
a.      Mengubah informasi atau data pada soal semula
b.      Menambah informasi atau data pada soal semula
c.       Mengubah nilai data yang diberikan, tetapi tetap mempertahankan kondisi atau situasi soal semula.
d.     Mengubah situasi atau kondisi soal semula, tetapi tetap mempertahankan data atau informasi yang ada pada soal semula.
Adapun situasi dalam pembelajaran problem posing diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu situasi bebas, semi terstruktur dan terstruktur (Stoyanova dan Ellerton, 1996; Abu-Elwan, 2002). Berikut penjelasan dari ketiga situasi tersebut.
1.      Situasi problem posing bebas (Free Problem Posing Situations), siswa diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengajukan soal sesuai dengan apa yang dikehendaki. Siswa dapat menggunakan fenomena dalam kehidupan sehari-hari sebagai acuan untuk mengajukan soal.
2.      Situasi problem posing semi terstruktur (Semi-Structured Problem Posing Situations), siswa diberikan situasi/informasi terbuka. Kemudian siswa diminta untuk mengajukan soal dengan mengaitkan informasi itu dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya. Situasi dapat berupa gambar atau informasi yang dihubungkan dengan konsep tertentu.
3.      Situasi problem posing terstruktur (Structured Problem Posing Situation), siswa diberi soal atau selesaian soal tersebut, kemudian berdasarkan hal tersebut siswa diminta untuk mengajukan soal baru.

PENILAIAN DALAM PROBLEM POSING
Silver dan Cai (dalam Lin dan Leng, 2008) mengategorikan soal yang dirumuskan siswa dalam tiga bagian yaitu pertanyaan matematika, pertanyaan non-matematika, dan pernyataan. Pertanyaan matematika adalah pertanyaan yang mengandung masalah matematika dan mempunyai kaitan dengan informasi yang ada pada situasi inti. Pertanyaan matematika dibagi lagi menjadi pertanyaan yang dapat diselesaikan dan pertanyaan yang tidak dapat diselesaikan. Pertanyaan yang tidak dapat diselesaikan adalah pertanyaan yang memiliki informasi yang tidak cukup atau tujuan pertanyaan tidak sesuai dengan informasi yang diberikan. Berbagai respon yang muncul dalam pembelajaran problem posing digambarkan sebagai berikut.




Responses

Non-math Questions

Math Questions

Statements

Solvabe

Non-solvabe

Semantic Analysis

Linguistic Syntatic Analysis
 















Gambar 1. Jenis Respon Siswa terhadap Matematika
menurut Silver dan Cai

Seorang siswa dikatakan sudah dapat membentuk soal jika siswa tersebut sudah dapat membuat pertanyaan matematika yang dapat diselesaikan dan yang sesuai dengan situasi yang diberikan.
Selain itu Silver (1994) mengelompokkan kesukaran masalah yang dibuat siswa dalam dua jenis. Pertama kesukaran yang berkaitan dengan struktur bahasa (sintaksis), dan kedua kesukaran yang berkaitan dengan struktur matematika (semantik) dalam masalah yang dibuat siswa. Kesukaran yang berkaitan dengan struktur bahasa dapat dilihat dari proposisi yang terkandung pada masalah yang dibentuk siswa. Menurut Mayer, dkk. (dalam Surtini, Hardjo, & Badjuri, 2003) terdapat  tiga proposisi yang ada dalam soal matematika, yaitu proposisi penugasan, proposisi hubungan dan proposisi pengandaian (kondisional). Sedangkan kesukaran yang berkaitan dengan struktur matematika dalam masalah yang dibentuk siswa dapat dilihat melalui dua cara, yaitu dengan menghitung banyaknya kombinasi operasi aritmatika yang digunakan atau menghitung banyaknya langkah-langkah penyelesaian yang diperlukan untuk penyelesaian masalah dan dengan cara menghitung hubungan semantiknya. Marshall (dalam Surtini, Hardjo, & Badjuri, 2003) menggunakan skema klasifikasi masalah untuk mengelompokkan masalah yang dibentuk siswa ditinjau dari hubungan semantiknya, yaitu: mengubah, mengelompokkan, membandingkan, menyatakan kembali, dan memvariasi.
Sampai saat ini, banyak peneliti telah menggunakan beberapa kerangka kerja yang berbeda untuk menilai pemahaman siswa tentang tugas problem posing. Diantaranya, Silver dan Cai (dalam Rosli, Goldsby, & Capraro, 2013) menyarankan kriteria umum yang berfokus pada kuantitas, orisinalitas, dan kompleksitas dari masalah yang diajukan. Kriteria tersebut mirip dengan klasifikasi masalah oleh Yuan & Sriraman (2010), yaitu: kelancaran, fleksibilitas, dan orisinalitas. Namun, diantara kedua studi tersebut tidak ada yang menjelaskan secara pasti tentang penyekoran problem posing.
Lin dan Leng (2008) menyatakan bahwa problem posing dapat pula dinilai dari aspek kompleksitas yang meliputi kompleksitas hubungan antarkonsep matematis, tingkat kesulitan, dan kompleksitas susunan bahasa yang digunakan. Kompleksitas soal dapat diklasifikasikan ke dalam kategori rendah, sedang, dan tinggi. Pengategorian ditinjau dari aspek bernalar, melakukan prosedur matematis, memahami konsep, atau menyelesaikan masalah. Soal dengan tingkat kompleksitas rendah biasanya berupa soal yang mencakup aspek mengingat kembali sifat-sifat. Soal dengan tingkat kompleksitas sedang adalah soal yang memuat hubungan antara dua sifat, sedangkan soal dengan tingkat kompleksitas tinggi mencakup analisis asumsi-asumsi yang dibuat dalam model matematis. Menurut Lin dan Leng (2008), berikut adalah karakteristik soal masing-masing kategori tersebut.

Rendah
Sedang
Tinggi
1.      Mengingat atau mengenali fakta, istilah, atau sifat-sifat
2.      Menghitung jumlah, selisih, hasil kali, atau pembagian
3.      Melakukan prosedur matematis yang ditentukan
4.      Menyelesaikan soal dengan satu tahap penyelesaian
5.      Mengambil informasi dari grafik, tabel, atau gambar.
1.      Merepresentasikan situasi secara matematis dengan lebih dari satu cara
2.      Memberikan pembenaran pada langkah-langkah saat proses penyelesaian masalah
3.      Menginterpretasikan representasi visual
4.      Menyelesaikan soal dengan beberapa tahap
5.      Memperluas pola
6.      Mengambil informasi dari grafik, tabel, atau gambar dan menggunakannya untuk menyelesaikan suatu masalah
7.      Menginterpretasikan penjelasan sederhana.
1.      Mendeskripsikan berbagai representasi berbeda untuk menyelesaikan masalah
2.      Melakukan prosedur matematis yang melibatkan beberapa tahap dan beberapa poin keputusan
3.      Menggeneralisasi pola
4.      Menyelesaikan masalah dengan lebih dari satu cara
5.      Menjelaskan dan membenarkan solusi untuk suatu masalah
6.      Mendeskripsikan, membandingkan, dan mengontraskan metode-metode penyelesaian
7.      Menganalisis asumsi-asumsi dalam proses solusi
8.      Memberikan pembenaran matematis.

Tabel 1. Kategori Soal Berdasarkan Kompleksitas Soal

Kulm (dalam dalam Rosli, Goldsby, & Capraro, 2013) merancang penilaian problem posing dengan menggunakan rubrik berbasis proses yang berdasarkan pada pemahaman konsep, solusi, kreativitas, dan solusi dari masalah pasangan (dalam pembelajaran berkelompok). Siswa diberikan 1, 2, atau 4 poin untuk setiap kategori yang dinilai. Berikut merupakan rubrik berbasis proses.

Rubrik Berbasis Proses
Skor
Aspek
4
2
1
Pemahaman Konsep
Pemahaman yang menyeluruh
Paham sebagian
Miskin pemahaman
Solusi dari Masalah
Semuanya benar
Sebagian benar
Mencoba untuk memecahkan

Kreativitas dari Masalah
Seluruhnya berbeda dari teks
Agak berbeda dari teks
Sama dengan teks
Solusi dari Masalah Partner
Semuanya benar
Sebagian benar
Mencoba untuk memecahkan


Tabel 2. Rubrik Berbasis Proses pada Penilaian Problem Posing






LANGKAH-LANGKAH PEMBELAJARAN PROBLEM POSING
Pembelajaran dengan pengajuan soal menurut Menon (dalam Siswono, 2000) dapat dilakukan dengan tiga cara berikut :
1.      Berikan kepada siswa soal cerita tanpa pertanyaan, tetapi semua informasi yang diperlukan untuk memecahkan soal tersebut ada. Tugas siswa adalah membuat pertanyaan berdasar informasi tersebut.
2.      Guru menyeleksi sebuah topik dan meminta siswa untuk membagi kelompok. Tiap kelompok ditugaskan membuat soal cerita sekaligus penyelesaiannya. Kemudian soal-soal tersebut dipecahkan oleh kelompok-kelompok lain. Sebelumnya soal diberikan kepada guru untuk diedit tentang kebaikan dan kesiapannya. Soal-soal tersebut kemudian digunakan sebagai latihan. Nama pembuat soal tersebut ditunjukkan, tetapi solusinya tidak. Soal-soal tersebut didiskusikan dalam masing-masing kelompok dan kelas. Hal ini akan memberi nilai komunikasi dan pengalaman belajar. Diskusi tersebut seputar apakah soal tersebut ambigu atau cukup tidaknya informasi. Soal yang dibuat siswa tergantung interes siswa masing-masing. Sebagai perluasan, siswa dapat menanyakan soal cerita yang dibuat secara individu.
3.      Siswa diberikan soal dan diminta untuk mendaftar sejumlah pertanyaan yang berhubungan dengan masalah. Sejumlah pertanyaan kemudian diseleksi dari daftar tersebut untuk diselesaikan. Pertanyaan dapat bergantung dengan pertanyaan lain. Bahkan dapat sama, tetapi kata-katanya berbeda. Dengan mendaftar pertanyaan yang berhubungan dengan masalah tersebut akan membantu siswa "memahami masalah".
Langkah-langkah itu dapat dimodifikasi, misalnya siswa dibuat berpasangan. Dalam satu pasang siswa membuat soal dengan penyelesaiannya. Soal tanpa penyelesaian saling dipertukarkan antar pasangan lain atau dalam satu pasang. Siswa diminta mengerjakan soal temannya dan saling koreksi berdasar penyelesaian yang dibuatnya.

IMPLEMENTASI PROBLEM POSING DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Langkah-langkah Konkrit Penerapan Pendekatan Problem Posing di Kelas
Pertemuan selama 2 jam  pelajaran (2 x 35 menit) dengan pokok bahasan Operasi Hitung Bilangan Cacah.
1.       Perencanaan
Pada pertemuan pertama, sebelumnya guru akan mempersiapkan bahan yang akan diajarkan dengan membuat rancangan pembelajaran (RPP). Dimana tujuan dari pembelajaran ini adalah siswa dapat melakukan operasi hitung bilangan cacah dan dapat menerapkannya dalam menyelesaikan soal.
Tahap persiapan
1)      Guru memilih pokok bahasan, yaitu operasi hitung bilangan cacah untuk kelas IV
2)      Guru membuat rancangan pembelajaran (RPP)
3)      Membuat soal-soal tes dan kuis.
2.       Pelaksanaan
Pada pembelajaran, guru akan melakukan beberapa langkah sesuai dengan RPP yang telah disusunnya yaitu sebagai berikut:
a.      Pembukaan
1)      Guru membuka pelajaran
a)      Salam Pembuka
b)     Mengabsen Siswa
2)      Guru memberi apersepsi dan motivasi pada siswa dengan permasalahan yang ada dalam kehidupan sehari-hari.
3)      Menjelaskan kompetensi yang akan dicapai
4)      Menjelaskan model pembelajaran
b.      Kegiatan inti
1)      Guru memerintahkan  siswa duduk dalam kelompok  yang telah dibagi secara .
2)      Guru menjelaskan konsep serta memberikan contoh materi Operasi Hitung Bilangan Cacah.
3)      Melalui Tanya jawab guru melakukan pengecekan terhadap  pengetahuan yang dimiliki siswa.
4)      Kemudian guru menugaskan siswa untuk bekerja secara kelompok membuat soal yang berhubungan dengan materi pembelajaran.
5)      Siswa secara kelompok  menjawab soal yang telah dibuat oleh kelompok  lain.
c.       Kegiatan Penutup
1)      Guru bersama siswa menyimpulkan materi pelajaran
2)      Guru memberikan kuis dalam waktu 15 menit.
3)      Siswa mengumpulkan jawaban kuis.
4)      Guru mengucapkan salam penutup.
PENUTUP
Pada prinsipnya, pendekatan pembelajaran problem posing adalah suatu pendekatan pembelajaran yang mewajibkan para siswa untuk mengajukan soal sendiri melalui belajar soal (berlatih soal) secara mandiri. Problem posing juga dapat dijadikan alternatif untuk mengembangkan keterampilan siswa guna meningkatkan kemampuan siswa dalam menerapkan konsep matematika.
Pengajuan soal (problem posing) diharapkan dapat membantu para pendidik (guru) dalam mengatasi kesulitan mengajar dan memberi alternatif cara menyampaikan bahan ajar. Bila kita berani dan mau mencoba maka perubahan dan kemajuan dalam pembelajaran maupun usaha meningkatkan kemampuan siswa sedikit demi sedikit akan tercapai.

DAFTAR PUSTAKA

Abu-Elwan, R. (1999). The development of mathematical problem posing skills for prospective middle school teachers. In Rogerson, A. (Ed.), Proceedings of the International conference on Mathematical Education into 21st Century, 7 (1), hlm. 1-8.
Abu-Elwan, R. (2002). Effectiveness of problem posing strategies on prospective mathematics teachers’ problem solving performance. Journal of Science and Mathematics Education in S.E. Asia, 25 (1), hlm. 56-69.
Badan Standar Nasional Pendidikan. (2006). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas.
Brown, S.I., dan Walter, M.I. (2005). The Art of Problem Posing (3rd Ed). Mahwah, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
Christou, C. (1999). An empirical taxonomy of problem posing processes. Zentralblatt für Didaktik der Mathematik (ZDM) – The International Journal on Mathematics Education, 37 (03), hlm. 149-158.
English, L.D. & Halford, G.S. (1995). Mathematics Education: Models and Processes. Mahwah, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
Lin, K.M. & Leng, L.W. (2008). Using problem-posing as an assessment tool. Paper presented at the 10th Asia-Pacific Conference on Giftedness, Singapore.
Rosli, R., Goldsby, D., & Capraro, M.M. (2013). Assessing students’ mathematical problem-solving and problem-posing skills. Asian Social Science, 9 (16), hlm. 54-60.
Silver, E.A. (1994). On mathematical problem posing. For the Learning of Mathematics, 14 (1), hlm. 19-28.
Silver, E. A. (1997). Fostering creativity through instruction rich in mathematical problem solving and problem posing. Zentralblatt für Didaktik der Mathematik (ZDM) – The International Journal on Mathematics Education, 79 (3), hlm. 75-80.
Siswono, Tatag Y.E. (2000). Pengajuan soal (problem posing) oleh siswa dalam pembelajaran geometri di SLTP. Seminar Nasional Pengajaran Matematika di Sekolah Menengah, Surabaya: ITS.
Stoyanova, E. dan Ellerton, N.F. (1996). A framework for research into students' problem posing in school mathematics. In P. Clarkson (Ed.), Technology in mathematics education (hlm. 518–525). Melbourne: Mathematics Education Research Group of Australasia.
Surtini, T., Hardjo, S., & Badjuri. (2003). Laporan penelitian implementasi problem posing pada pembelajran operasi hitung bilangan cacah siswa kelas IV SD di Salatiga. Semarang: Universitas Terbuka.
Yuan, X., & Sriraman, B. (2010). An exploratory study of relationships between students’ creativity and mathematical problem-posing abilities. In B. Sriraman, & K. H. Lee (Eds.), The elements of creativity and giftedness in mathematics, hlm. 5-28.


Comments

Popular posts from this blog

LAPORAN HASIL OBSERVASI PENGELOLAAN KELAS DI SDI AL-AZHAR 33 TASIKMALAYA

LAPORAN OBSERVASI PENYIMPANGAN PERILAKU ANAK SD

LAPORAN KARYA WISATA ILMIAH KE YOGYAKARTA