PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL ANAK SEKOLAH DASAR DAN IMPLIKASINYA



PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL ANAK SEKOLAH DASAR DAN IMPLIKASINYA

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Perkembangan Peserta Didik

Dosen: Prof. Dr. H. Cece Rakhmat, M.Pd.
















Oleh:
Kelompok 10 Kelas 1D
Dede Nurhidayah      (1204128)
Nurul Khasanah        (1205725)



PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2013


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami penjatkan kehadirat Alloh SWT, yang atas rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah Perkembangan Peserta Didik “Perkembangan Sosial dan Kemandirian Anak Sekolah Dasar”.
Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas dan persyaratan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Perkembangan Peserta Didik di Universitas Pendidikan Indonesia Kampus Tasikmalaya.
Dalam penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan, baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Semoga materi ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang membutuhkan, khususnya bagi penulis sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai.
Amiin…..


Tasikmalaya,  Pebruari 2013


Penyusun


DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar........................................................................................ i
Daftar Isi.................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang.............................................................................. 1
B.     Perumusan Masalah....................................................................... 2
C.     Tujuan Penulisan............................................................................ 2
D.    Metode Penulisan.......................................................................... 2
E.     Manfaat Penulisan......................................................................... 3
F.      Sistematika Penulisan.................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN
A.    Makna Perkembangan Sosial......................................................... 4
B.     Bentuk-Bentuk Tingkah Laku Sosial pada Anak.......................... 6
C.     Hubungan Pertemanan (Rekan Sebaya)........................................ 8
D.    Perkembangan Identitas Diri (Self Identity)................................... 11
E.     Implikasi Terhadap Kegiatan Pembelajaran.................................. 15
F.      Konsep Kemandirian..................................................................... 17
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN
A.    Kesimpulan.................................................................................... 20
B.     Saran.............................................................................................. 21
DAFTAR PUSTAKA............................................................................. 22

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Suatu perubahan kehidupan yang cukup esensial pada anak usia SD adalah semakin meluasnya lingkungan pergaulan. Sejak memasuki lembaga pendidikan pra-sekolah atau taman kanak-kanak, anak memperoleh perluasan yang sangat berarti dalam jangkauan interaksi sosialnya. Kalau semula ia hanya bergaul dengan lingkungan keluarga dan teman sebaya yang ada di sekitar rumahnya maka sekarang ia mulai mengenal guru dan teman-tema sekelasnya.
Semakin luas dan kompleksnya lingkungan pergaulan anak tersebut adalah suatu proses kehidupan yang wajar dalam arti merupakan suatu tugas perkembangan yang secara normal perlu dijalani oleh anak. Bukan hanya tuntutan lingkungan yang membuat anak berperilaku seperti itu, tetapi perkembangan internal pribadi anak sendiri sendiri juga mendorongnya untuk semakin memperluas lingkup pergaulannya. Secara internal, dalam diri anak juga terjadi perubahan-perubahan yang mendorongnya untuk lebih interest terhadap interaksi pertemanan dan pergaulan sosial yang lebih luas. Dikuasaina berbagi perangkat keterampilan fisik dan bahasa serta semaki berkurangnya ketergantungan kepada pihak orang tua. Mendorong anak untuk memperluas lingkup interaksi sosialnya. Begitu pula, pengalamna-pengalaman menyenangkan yang didapat dari hubunga teman sebaya semain menumbuhkan minat anak utuk memperluas lingkungan pergaulannya.
Sesuai dengan kekhasan perkembangan sosial dan pribadi anak di atas, ada beberapa aspek esensial yang perlu dipahami oleh calon guru SD, yakni berkenaan dengan perkembangan emosi, hubungan pertemanan, dan perkembangan identitas diri (self identity). Pemahaman tentang aspek perkembangan anak tersebut diharapkan dapat membantu dalam merancang suasana lingkungan belajar yang kondusif bagi perkembangan sosial-pribadi anak.
Manfaat lain yang dapat diperoleh dengan memahami perkembangan sosial-pribadi anak adalah memberikan landasan konseptual dalam menentukan alternatif perlakuan pendidikan terhadap anak didik yang sesuai dengan perkembangannya. Dengan demikian, guru diharapkan akan bisa menjadi fasilitator perkembangan sosial-pribadi anak.

B.     Perumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, penulis merumuskan beberapa masalah yang berkaitan dengan perkembangan sosial dan konsep kemandirian, yakni:
1.      Apakah makna dari perkembangan sosial?
2.      Bagaimana bentuk-bentuk tingkah laku sosial pada anak SD?
3.      Bagaimana  hubungan pertemanan anak SD dengan teman sebayanya?
4.      Bagaimana perkembangan identitas diri anak pada usia SD?
5.      Apa implikasi dari perkembangan sosial bagi perkembangan lingkungan belajar yang kondusif?

C.    Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah:
1.      Memberikan informasi mengenai makna dari perkembangan sosial.
2.      Memberikan informasi mengenai bentuk-bentuk tingkah laku sosial pada anak usia SD.
3.      Memberikan informasi mengenai hubungan pertemanan pada anak usia SD.
4.      Memberikan informasi mengenai perkembangan identitas diri anak pada usia SD.
5.      Memberikan informasi mengenai lingkungan belajar yang kondusif bagi perkembangan sosial-pribadi anak.

D.    Metode Penulisan
Untuk mendapatkan data dan informasi yang diperlukan, penulis menggunakan metode studi kepustakaan atau teknik studi pustaka. Yakni dengan menganalisis dan menelaah buku-buku khususnya yang berhubungan dengan Perkembangan Sosial dan Kemandirian Anak Sekolah Dasar.
E.     Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan makalah ini adalah:
1.      Pembaca, khususnya mahasiswa calon guru mengetahui makna dari perkembangan sosial.
2.      Pembaca, khususnya mahasiswa calon guru mengetahui bentuk-bentuk tingkah laku sosial pada anak usia SD.
3.      Pembaca, khususnya mahasiswa calon guru mengetahui dan memahami hubungan pertemanan pada anak-anak usia SD.
4.      Pembaca, khususnya mahasiswa calon guru mengetahui dan memahami perkembangan identitas diri pada anak usia SD.
5.      Pembaca, khususnya mahasiswa calon guru mengetahui bagaimana lingkungan belajar yang kondusif bagi perkembangan sosial-pribadi anak.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Makna Perkembangan Sosio-emosional
Anak-anak menjelang masuk SD, telah mengembangkan keterampilan berpikir, bertindak, dan pengaruh sosial yang lebih komplek. Anak-anak pada usia sekitar ini, pada dasarnya egosentris dan dunia mereka adalah rumah, keluarga, dan sekolah. Selama duduk di kelas rendah SD, anak mulai percaya diri tetapi juga sering rendah diri. Pada tahap ini mereka mulai mencoba membuktikan bahwa mereka dewasa. Mereka merasa “ saya dapat mengerjakan sendiri tugas itu”.
Konsentrasi anak mulai tumbuh pada kelas-kelas tinggi SD. Mereka dapat lebih banyak meluangkan waktu untuk tugas-tugas pilihan mereka, dan sering kali mereka dengan senang hati menyelesaikannya. Pada tahap ini terjadi tumbuhnya tindakan mandiri, kerja sama dengan kelompok, dan bertindak menurut cara-cara yang dapat diterima lingkungan. Mereka juga peduli terhadap permainan yang jujur.
Selama masa ini anak mulai menilai diri sendiri dengan membandingkannya terhadap orang lain. Anak-anak lebih mudah menggunakan perbandingan sosial (social comparison) terutama untuk norma-norma sosial yang sesuai dengan jenis tingkah laku mereka.
Sebagai akibat dari perubahan struktur fisik dan kognitif, anak pada kelas tinggi SD berupaya untuk tampak lebih dewasa. Mereka ingin diperlakukan sebagai orang dewasa. Pada masa ini tampak perubahan-perubahan yang berarti dalam kehidupan sosial dan emosional mereka. Di kelas tinggi SD anak laki-laki dan perempuan menganggap keikutsertaan dalam kelompok menumbuhkan perasaan bahwa dirinya berharga. Teman-teman mereka menjadi lebih penting dari pada sebelumnya. Mereka menyatakan kesetiakawanan dengan anggota kelompok teman sebaya melalui pakian atau prilaku.
Hubungan antara anak dan guru sering berubah. Di awal-awal tahun kelas tinggi SD, hubungan ini menjadi lebih komplek. Ada siswa yang menceritakan informasi pribadi kepada guru, tetapi tidak menceritakan kepada orang tuanya. Beberapa anak pra remaja memilih guru mereka sebagai model. Sementara itu ada anak membantah guru dengan cara-cara yang tidak dibayangkan seperti sebelumnya. Bahkan beberapa anak secara terbuka menentang gurunya.
Salah satu tanda mulai munculnya perkembangan indentitas diri anak remaja adalah reflektivitas, yaitu kecendrungan untuk berpikir tentang apa yang sedang berkecamuk dalam benak mereka dan mengkaji diri sendiri. Anak remaja mulai meyakini bahwa ada perbedaan antara apa yang dipikirkan dan rasakan sebagaimana mereka berprilaku. Mereka mengkritik sifat pribadi mereka, membandingkan diri mereka dengan orang lain, dan mencoba untuk mengubah pribadinya. Remaja menjadi lebih sadar atas keunikan mereka dan perbedaannya dibandingkan dengan orang lain. Mereka belajar bahwa orang lain tidak dapat mengetahui apa yang mereka pikirkan dan rasakan. Isu perkembangan kepribadian yang dominan pada remaja adalah “siapa dan apa sebenarnya diriku?”. Inilah kepedulian utama remaja terhadap indentitas dirinya. Remaja mencapai indentitas dirinya pada usia 18 tahun sampai 22 tahun.

B.     Bentuk-Bentuk Tingkah Laku Sosial pada Anak
Melalui pergaulan atau hubungan sosial, baik dengan orang tua, anggota keluarga, orang dewasa lainnya maupun teman bermainnya, anak mulai mengembangkan bentuk-bentuk tingkah laku sosial, diantaranya sebagai berikut.
1.      Pembangkangan (Negativisme)
Pembangkangan yaitu suatu bentuk tingkah laku melawan. Tingkah laku ini terjadi sebagai reaksi terhadap penerapan disiplin atau tuntutan orang tua atau lingkungan yang tidak sesuai dengan kehendak anak. Tingkah laku ini mulai muncul pada kira-kira usia 18 bulan dan mencapai puncaknya pada usai tiga tahun. Berkembangnya tingkah laku negativisme pada usia ini dipandang pada usia yang wajar. Setelah usia empat tahun, biasanya tingkah laku ini mulai menurun. Antara usia empat dan enam tahun, sukap membangkang/melawan secara fisik beralih menjadi sikap melawan secara verbal (menggunakan kata-kata). Sikap orang tua terhadap tingkah laku melawan pada usia ini, seyogiyanya tidak memandangnya sebagi pertanda bahwa anak itu anak nakal, keras kepala, tolol atau sebutan lainnya yang negatif. Dalam hal ini, sebaiknya orang tua mau memahami tentang proses perkembangan anak, yaitu bahwa secara naluriah anak itu mempunyai dorongan untuk berkembang dari posisi “dependent”  (ketergantungan) ke posisi “independent” (bersikap mandiri). Tingkah laku melawan merupakan salah satu bentuk dari proses perkembangan tersebut.
2.      Agresi (aggression)
Agresi yaitu perilaku menyerang balik secara fisik (nonverbal) maupun kata-kata (vebal). Agresi ini merupakan salah satu bentuk reaksi terhadap frustrasi (rasa kecewa karena tidak terpenuhi kebutuhan/keinginannya) yang dialaminya. Agresi ini mewujud dalam perilaku menyerang, seperti: memukul, mencubit, menendang, menggigit, marah-marah dan mencaci maki. Orang tua yang menghukum anak yang agresif, menyebabkan meningkatnya agresivitas anak. Oleh karena itu, sebaiknya orang tua berusaha untuk mereduksi, mengurangi agresivitas anak tersebut dengan cara mengalihkan perhatian/keinginan anak, memberikan mainan atau sesuatu yang diinginkannya (sepanjang tidak membahayakan keselamatannya), atau upaya lain yang bisa meredam agresivitas anak tersebut.
3.      Berselisih/bertengkar (quarreling)
Berselisih/bertengkar terjadi apabila seorang anak merasa tersinggung atau terganggu oleh sikap dan perilaku anak lain, seperti diganggu pada saat mengerjakan sesuatu atau direbut barang atau mainannya.
4.      Menggoda (teasing)
Menggoda yaitu sebagai bentuk lain dari tingkah laku agresif. Menggoda merupakan serangan mental terhadap orang lain dalam bentuk verbal (kata-kata ejekan atau cemoohan), sehingga menimbulkan reaksi marah pada orang yang disekitarnya.
5.      Persaingan (rivarly)
Persaingan yaitu keinginan untuk melebihi orang lain dan selalu didorong (distimulasi) oleh orang lain. Sikap persaingan ini mulai terlihat pada usia empat tahun, yaitu persaingan untuk prestise dan pada usia enam tahun, semangat bersaing ini berkembang dengan lebih baik.
6.      Kerjasama (cooperation)
Kerjasama yaitu sikap mau bekerja sama dengan kelompok. Anak yang berusia dua atau tiga tahun belum berkembang sikap bekerjasamanya, mereka masih kuat sikap “self-centered”-nya. Mulai usia tiga tahun akhir atau empat tahun, anak sudah mulai menampakkan sikap kerjasamanya dengan anak lain.  Pada usia enam atau tujuh tahun, sikap kerja sama ini sudah berkembang dengan lebih baik lagi. Pada usia ini anak mau bekerja kelompok dengan teman-temannya.
7.      Tingkah laku berkuasa (ascendant behavior)
Tingkah laku berkuasa yaitu sejenis tingkah laku untuk menguasi situasi sosial, mendominasi atau bersikap “bussiness.”  Wujud dari tingkah lauk ini, seperti: meminta, menyuruh, dan mengancam atau memaksa orang lain untuk memenuhi kebutuhan dirinya.
8.      Mementingkan diri sendiri (selfishness)
Mementingkan diri sendiri yaitu sikap egosentris dalam memenuhi interest atau keinginannya. Anak ingin selalu dipenuhi keinginannya dan apabila ditolak, maka dia protes dengan menangis, menjerit atau marah-marah.
9.      Simpati (sympathy)
Simpati yaitu sikap emosional yang mendorong individu untuk menaruh perhatian terhadap orang lain, mau mendekati atau bekerja sama dengannya. Seiring dengan bertambahnya usia, anak mulai dapat mengurangi sikap “selfish”-nya dan dia mulai mengembangkan sikap sosialnya, dalam hal ini rasa simpati terhadap orang lain.
Perkembangan sosial anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya, baik orang tua, sanak keluarga, orang dewasa lainnya atau teman sebayanya. Apabila lingkungan sosial tersebut memfasilitasi atau memberikan peluang terhadap perkembangan anak secara positif, maka anak akan dapat mencapai perkembangan sosialnya secara matang. Namun, apabila lingkungan sosial itu kurang kondusif, seperti perlakuan orang tua yang kasar; sering memarahi; acuh tak acuh; tidak memberikan bimbingan; teladan; penagajaran; atau pembiasaan terhadap anak dalam menerapakan norma-norma, baik agama maupun tatakrama/budi pekerti;cenderung menampilkan perilaku maladjustment, seperti : bersifat minder, senang mendominasi orang lain, bersifat egois/selfish, senang mengisolasi diri/menyendiri, kurang memiliki perasaan tenggang rasa, dan kurang mempedulikan norma dalam berperilaku.

C.     Hubungan Pertemanan (Rekan Sebaya)
            Salah satu dimensi dari perkembangan sosial anak adalah hubungan pertemanan. Hubungan pertemanan ini di tandai dengan semakin terlibatnya anak dalam aktivitas atau interaksi dengan teman sebaya.
Ada dua faktor utama yang mendorong anak untuk membangun hubungan pertemanan yaitu :
1.      Menguasai perangkat keterampilan fisik dan komunikasi sehingga memungkinkan anak untuk lebih memperluas jaringan hubungan dengan orang lain.
2.      Melalui teman sebaya mereka dapat membangun kultur kelompoknya yang berbeda dengan kultur pergaulan orang dewasa.
Dilihat dari proses perkembangannya, hubungan pertemanan ini sejalan dengan bertambahnya usia anak. Menurut Hartup dalam Buku Perkembangan Peserta Didik (Vesta et, 1992) dengan semakin bertambah usia, anak akan lebih banyak menggunakan waktu dengan teman sebayanya dan relatif sedikit dengan orangtuanya.
Ketika memasuki usia SD, anak lebih antusias dan lebih banyak terlibat dalam aktivitas-aktivitas bermain yang bersifat kooperatif (cooperative play). Intensitas hubungan maupun waktu keterlibatannya mengalami peningkatan. Bentuk kegiatan bermain anak-anak usia SD lazimnya berlangsung dalam adegan kelompok yang melibatkan koordinasi dan pencapaian tujuan.
Dilihat dari faktor-faktor yang memepengaruhinya, ada lima unsur determinan yang memepengaruhi hubungan pertemanan, yakni:
1.      Kesamaan Usia
Unsur ini lebih memungkinkan anak untuk memiliki minat-minat dan tema-tema pembicaraan  atau kegiatan yang sama sehingga mendorong terjalinnya hubungan pertemanan.
2.      Faktor Situasi
Dalam pemilihan permainan, misalnya, di saat berjumlah banyak anak-anak akan cenderung memilih permainan kompetitif dari pada permainan kooperatif; aktivitas di ruang terbuka mendorong permainan kooperatif yang mengguanakan orang atau objek sebagai simbol; dan seterusnya.
3.      Keakraban
Kolaborasi dalam pemecahan masalah lebih baik dan efisien bila dilakukan oleh anak di antara teman sebaya yang akrab. Keakraban ini jug mendorong munculnya perilaku yang kondusif bagi terbentuknya persahabatan.
4.      Ukuran Kelompok
Bila jumlah anak dalam kelompok hanya sedikit, maka interaksi yang terjadi cenderung lebih baik, lebih kohesif, lebih berfokus, dan lebih berpengaruh.
5.      Perkembangan Kognitif Anak (khususnya berkenaan dengan Social Problem Solving Skills)
Anak yang kemampuan kognitifnya meningkat,  hubungan dengan rekan sebayanya juga meningkat. Anak-anak yang memiliki keterampilan kognisi lebih unggul akan cenderung tampil sebagai pemimpin atau sekurang-kurangnya sebagai anggota kelompok yang berpengaruh, khususnya di saat kelompok menghadapi persoalan yang perlu dipecahkan.
Selanjutnya, salah satu bentuk khusus dari hubungan pertemanan yang mungkin di alami oleh anak usia SD adalah persahabatan. Persahabatan adalah hubungan yang intens dan lama antar dua atau beberapa anak yang diwarnai oleh loyalitas, keintiman, dan saling menyayangi . Terjalinnya persahabatan dapat didorong oleh unsur kesamaan (usia, jenis kelamin, ras, orientasi pendidikan, orientasi budaya, dan sejenisnya), minat, keterbukaan diri, saling berbagi informasi, dan keinginan pemecahan masalah. 
Perilaku-perilaku prososial seperti saling berbagi , membantu, dan bekerja sama lebih umum terjadi diantara sesama sahabat. Meskipun adanya konflik tidak dapat dihindari, dalam persahabatan hal itu lazimnya diatasi bukan dengan cara konfrontasi dan kekerasan, melainkan dengan saling menerima alasan sehingga sampai kepada solusi yang sama-sama menang (win-win solution).
Gejala lain yang juga dapat terjadi dalam hubungan pertemanan adalah munculnya anak-anak yang populer (popular children), anak yang diabaikan (neglected children), dan anak yang ditolak (rejected children). Kecenderungan anak populer, diabaikan, atau ditolak ini biasanya sangat berkaitan erat dengan pola kepribadian dan perilaku yang bersangkutan.
1.      Anak Populer (popular children)
Anak populer adalah yang banyak disukai oleh teman-temannya. Anak populer biasanya memiliki kemampuan intelektual, karakteristik fisik yang menarik, serta memiliki kemampuan interaksi (memulai interaksi, mempertahankan interakasi, dan memecahkan masalah).
2.      Anak yang Diabaikan (neglected children)
Anak yang diabaikan adalah yang dibiarkan atau cenderung tidak diperhatikan oleh teman-temannya. Anak yang diabaikan biasanya menunjukkan perilaku enggan bicara, kurang aktif, dan malu-malu.
3.      Anak yang Ditolak (rejected children)
Anak  yang ditolak adalah yang kehadirannya tidak diterima oleh teman-temannya. Anak yang ditolak biasanya berperilaku agresif, anti sosial, mengganggu, dan tidak peduli terhadap situasi. Anak yang ditolak cenderung memiliki efek jangka panjang seperti kenakalan dan gangguan mental.
Permasalahan anak-anak yang diabaikan dan ditolak dapat diatasi dengan menerapkan program sekolah yang terpadu. Tujuan program ini adalah untuk menolong dan berusaha menarik perhatian teman-teman sebaya mereka dengan cara-cara yang positif dan mempertahankan perhatian dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan, mendengarkan dengan cara yang hangat dan bersahabat serta apabila berbicara mengenai diri mereka sendiri, bicarakanlah hal-hal yang menarik minat teman sebaya. Mereka juga diajarkan untuk memasuki kelompok secara lebih efektif.
Selain itu, tujuan program pelatihan bagi anak-anak yang ditolak haruslah untuk membantu mereka mendengarkan teman-teman sebaya dan mendengarkan apa yang mereka katakan dan bukan mencoba mendominasi interaksi teman-teman sebaya. Anak-anak yang ditolak dilatih untuk bergabung dengan teman-teman sebaya tanpa mengubah apa yang sedang berlangsung dalam kelompok teman sebaya. Anak-anak mungkin perlu dimotivasi untuk mengguanakan strategi ini dengan suatu bujukan sehingga program tersebut berjalan dengan efektif dan memuaskan.

D.    Perkembangan Identitas Diri (Self Identity)
Salah satu unsur kepribadian terpenting adalah konsep diri (self-concept), yakni keseluruhan persepsi seseorang tentang dirinya, abilitas, perilaku, harga diri, dan kepribadiannya. Konsep diri seseorang akan sangat mempengaruhi cara yang bersangkutan melihat dan memperlakukan dirinya sendiri dan cara-cara ia berinteraksi dengan lingkungannya. Konsep diri ini banyak dimensinya, namun yang akan dideskripsikan di sini dibatasi pada penjelasan tentang konsep identitas diri (self identity) dari Erikson.
Erikson (Conny R. Setiawan: 1998) berpendapat bahwa tema utama kehidupan ialah pencarian identitas. Identitas diri seseorang ini tidak sekedar menyangkut pemahaman dan penerimaan dirinya sendiri, melainkan selalu terkait pula dengan pemahaman dan penerimaan terhadap masyarakat (lingkungan).
Dalam pandangan Erikson, identitas pribadi seseorang terbentuk melalui perkembangan proses krisis psikososial. Menurutnya, setiap individu akan dihadapkan pada krisis-krisis kehidupan dalam setiap fase perkembangannya. Jika individu mampu mengatasi krisis-krisis yang dihadapinya, maka ia akan memiliki kepribadian yang sehat atau terintegrasi dan kemampuan untuk menguasai lingkungan. Sebaliknya, kalau seseorang gagal menyelesaikan krisis-krisis tersebut, maka ia akan menjadi orang yang hanyut dalam arus kehidupan.
Meskipun perkembangan identitas diri ini mencapai puncak krisis pada masa remaja, proses perkembangannya dimulai sejak bayi, yakni di saat bayi mengenali dan merasa dikenali oleh ibunya. Sejak itu, seseorang mengembangkan identitas dirinya hingga terus sampai tua. Selama hidup seseorang, ada delapan tahap krisis yang akan dilalui. Namun, yang akan dijelaskan di sini hanya krisis yang dialami oleh bayi hingga masa kanak-kanak.
1.      Kepercayaan Lawan Ketidakpercayaan (Basic Trust vs Basic Mistrust)
Kepercayaan dasar (Basic Trust) ialah kepercayaan yang sifatnya fundamental pada diri bayi kepada orang lain dan lingkungannya. Kepercayaan dasar ini juga mencakup kepercayaan dan perasaan bahwa dirinya dipercayai dan bahwa ada keterkaitan antara kebutuhan-kebutuhan dirinya dengan lingkungannya. Bayi yang memiliki kepercayaan dasar dapat memperkirakan bahwa ibunya akan memeberinya makan bila ia lapar dan menghiburnya bila ia merasa takut atau kesakitan. Ia dapat memberikan toleransi bila ibunya tidak ada karena ia yakin bahwa ibunya akan kembali.
Kepercayaan dasar akan terbentuk melalui perlakuan orang tua dan orang dewasa lainnya yang berupaya memenuhi berbagai kebutuhan ndan keinginannya. Bila si bayi merasa terjamin kehidupannya, maka ia akan mengembangkan kepercayaan dasar ini. Sebaliknya, bila bayi merasa kebutuhan-kebutuhannya tidak terjamin atau tidak ditanggapi, maka ia akan menumbuhkan sikap dan rasa tidak percaya terhadap orang lain dan lingkungannya. Ia mungkin akan cenderung menjadi  orang yang penuh curiga dan waswas terhadap orang lain. Dengan demikian, seorang bayi yang kelahirannya tidak diharapkan oleh orangtuanya dan kemudian diperlakukan secara tidak wajar akan memiliki peluang yang besar untuk menumbuhkan sikap tidak percaya diri.
Dalam taraf tertentu, sebenarnya sikap tidak percaya ini tetap dibutuhkan yaitu guna mendeteksi kemungkinan bahaya atau situasi yang tidak menyenangkan dan untuk membedakan antara orang-orang yang dapat dipercaya dengan yang tidak dipercaya. Akan tetapi, bila perasaan tidak percaya ini lebih besar daripada rasa percayanya, maka anak (atau kelak sesudah dewasa) akan menjadi frustasi, menarik diri, dan penuh curiga.
2.      Kemandirian Lawan Malu dan Keraguan (Autonomy vs Shame and Doubt)
Pada usia kira-kira dua sampai tiga tahun, anak semakin independen baik secara fisik maupun psikologis. Ia dapat berjalan, berbicara, mengambil sesuatu, dan melakukan hal-hal lainnya. Kemampuan-kemampuan tersebut membuat anak memiliki peluang-peluang baru untuk berkembangnya kepribadian.
Namun, pada saat yang sama anak juga menghadapi kerawanan-kerawanan baru seperti kecemasan atau perpisahan dengan orang tua, khawatir kalau buang air besar (kontrol anal) tidak berhasil, dan berbagai kekhawatiran lainnya. Keberhasilan anak dalam mengatasi krisis pada masa ini akanmengembangkan rasa kemandirian. Sebaliknya, bila anak tidak berhasil mengatasi krisis-krisis kehidupan pada usia ini, maka ia akan cenderung menjadi orang pemalu dan penuh keraguan.
Dalam membantu krisis otonomi lawan malu dan keraguan ini, idealnya orang tua menciptakan iklim yang mendukung anak untuk mengembangkan kontrol diri tanpa harus kehilangan harga diri. Di sini diperlukan adanya keseimbangan antara tuntutan tugas aktivitas yang dilakukan anak dengan taraf kemampuan anak serta bantuan atau kontrol dari pihak orang tua. Anak yang dipaksakan untuk melakukan tugas-tugas yang diluar kemampuannya sehingga banyak gagal, atau anak yang terlalu dikendalikan sehingga kurang memiliki kesempatan, akan cenderung mengembangkan sikap yang ragu-ragu atau takut dan malu dalam berbuat. Sebaliknya, bila anak diberi kesempatan yang cukup dan sepadan dengan kemampuannya serta mendapat bimbingan secara wajar, maka ia akan cenderung mengembangkan sikap mandiri.
3.      Inisiatif Lawan Merasa Berdosa (Initiative vs Guilt)
Krisis inisiatif lawanmerasaberdosa ini dialami anak pada usia sekitar empat sampai lima tahun. Pada usia ini, anak mengalami suatu gejala psikologis untuk mengidentifikasi diri dengan orang lain. Karenanya, agar anak memiliki keyakinan yang mantap bahwa dirinya adalah seorang pribadi, ia perlu mendapat gambaran tentang akan menjadi orang macam apa dirinya di kemudian hari. Jadi, tema tahap ini ialah identifikasi anak kepada tokoh idealnya.
Kecenderungan untuk mengidentifikasikan diri tersebut mendorong perkembangan kesadaran atau kata hati (conscience) dan juga menumbuhkan seperangkat minat, sikap, dan perilaku jenis kelamin. Kondisi demikian mendukung anak untuk berinisiatif, membentuk dan mencapai tujuan, serta untuk berkompetisi.kemampuan inisiatif didukung oleh peningkatan kemampuan mobilitas, kecakapan fisik, bahasa, kognisi dan imajinasi kreatif. Bila anak mendapat kesempatan yang memadai untuk berprakarsa dan berinisiatif, maka kemampuan dan dorongan untuk berprakarsanya akan terpelihara dan berkembang. Sebaliknya, kalau anak terlalu banyak ditegur atau dikekang, maka ia mungkin menjadi merasa serba salah dan penuh keraguan.
Sebenarnya anak lazimnya berada padasuatu posisi tertentu dalam suatu kontinum yang merentang dari posisi keberhasilan berinisiatif sampai ke posisi tercekam oleh rasa bersalah. Rasa bersalah ini berkaitan dengan kesadaran yang berlebihan dalam menghukum perilaku-perilaku yang dianggapnya salah. Jika anak cenderung mengembangkan sikap rasa berdosa yang berlebihan ini, maka akibatnya bukan saja memiliki perasaan bersalah secara berlebihan, tetapi ia juga akan diliputi oleh perasaan bahwa dirinya harus senantiasa melakukan sesuatu, senantiasa bersaing, dan senantiasa berbuat sesuatu agar dirinya mempunyai nilai sebagai manusia.
4.      Mampu Berkarya Lawan Inferioritas (Industry vs Inferiority)
Pada masa ini, usia enam tahun hingga remaja, anak-anak memasuki usia berkarya (industrial age). Mereka mulai masuk sekolah tempat mempelajari dan mengembangkan berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk kepentingan hidupnya pada saat sekarang dan nanti. Mereka sekarang dituntuut untuk menyelesaikan berbagai pekerjaan atau tugas dengan baik. Pengalaman-pengalaman keberhasilan yang diperolehnya akan menumbuhkan perasaan dan kepercayaan bahwa dirinya mampu berkarya atau menyelesaikan sesuatu (industry). Sebaliknya, kalau pada masa ini anak mengalami banyak kegagalan apalagi disertai kecerobohan, maka ia akan merasa tidak percaya terhadap kemampuan yang dimilikinya sehingga cenderung merasa inferior atau merasa bahwa dirinya tidak berarti.

E.     Implikasi Terhadap Kegiatan Pembelajaran
Sekolah adalah lembaga pendidikan yang berfungsi untuk memfasilitasi proses perkembangan anak secara menyeluruh. Tidak hanya aspek pengetahuan dan intelektual anak yang perlu diperhatikan dan dibina, akan tetapi keseluruhan aspek perkembangan termasuk aspek sosial anak.
Dilihat dari pemahaman terhadap aspek perkembangan sosio-emosional anak sebagaimana telah dipaparkan di atas, terdapat beberapa implikasi yang seyogiyanya diperhatikan oleh para calon guru SD. Implikasi-implikasi tersebut terutama berkenaan dengan penciptaan suatu lingkungan belajar yang kondusif bagi tumbuh kembang anak.
Pertama, untuk meningkatkan kemampuan anak dalam menyadari dan menghayati pengalaman-pengalaman emosionalnya, dapat juga dilakukan melalui aktivitas bermain peran, pemutaran film, dan aktivitas-aktivitas sejenis lainnya yang diperlihatkan kepada mereka tentang bagaiman orang mengekspresikan emosinya secara wajar dan tidak wajar serta kosekuensi-konsekuensinya.
Yang lebih penting dari aktivitas-aktivitas di atas adalah perlunya figur dari guru yang dapat memberikan contoh tentang bagaimana mengekspresikan dan mengendalikan emosi secara wajar dalam kehidupan sehari-hari. Aktivitas semacam bermain peran dan semacamya tidak akan banyak berarti tanpa didukung oleh penciptaan lingkungan sekolah yang kondusif.
Singkatnya, disamping perlu adanya program-program pengayaan yang berkenaan dengan upaya pengembangan sosioemosi anak, diperlukan pula upaya penciptaan kondisi yang memberi kesempatan kepada setiap anak untuk mengembangkan dan mengekspresikan emosinya secara wajar sesuai dengan kultur yang berlaku dengan disertai contoh kongkrit dari guru dalam perilaku sehari-hari.
Kedua, yang perlu diperhatikan adalah menonjolnya peran teman sebaya bagi anak SD. Keberadaan teman sebaya bagi anak SD merupakan hal yang sangat berarti, bukan saja sebagai sumber kesenangan bagi anak melainkan dapat mengembangkan banyak aspek perkembangan anak. Hal ini mengimplikasikan perlunya aktivitas-aktivitas pendidikan atau pembelajaran baik di kelas maupun di luar kelas yang memberikan banyak kesempatan kepada anak untuk berdialog diantara sesama mereka. Akan lebih baik kalau sekolah menyediakan berbagai kegiatan yang terprogram dan terencana untuk mereka sehingga aktivitas anak-anak dapat lebih terarahkan sesuai dengan yang diharapkan.
Berkenaan dengan perkembangan indentitas diri, sekolah perlu menyelaraskan kondisi lingkungan sekolah dan perlakuan-perlakuan yang diberikan dengan kondisi anak. Guna menumbuhkan perasaan dan keyakinan mampu berkarya atau berprestasi (sense of industry), sekolah perlu memberikan berbagai alternatif pilihan kegiatan yang memungkinkan anak untuk memperlihatkan kelebihan-kelebihan yang dimilikinya. Unsur penghargaan dari sekolah kepada semua anak juga merupakan hal penting guna mengembangkan sense of industry ini. Selain itu, guna mengembangkan kesadaran identitas jenis kelamin sesuai dengan kultur yang berlaku sangat diperlukan adanya figur dari pihak guru dan upaya-upaya condotioning lainnya. Upaya-upaya conditioning ini dapat dilakukan dari mulai cara berpakaian, pembagian tugas, sampai pada bimbingan karir.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A.    Kesimpulan
Dari hasil pembahasan tentang perkembangan sosial anak dan konsep kemandirian anak SD, penulis mencoba membuat kesimpulan sebagai berikut:
1.      Perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial. Dapat juga diartikan sebagai proses belajar untuk menyesuikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral, dan tradisi; meleburkan diri menjadi satu kesatuan dan saling berkomunikasi dan berkerja sama.
2.      Melalui pergaulan atau hubungan sosial, baik dengan orang tua, anggota keluarga, orang dewasa lainnya maupun teman bermainnya, anak mulai mengembangkan bentuk-bentuk tingkah laku sosial, diantaranya: (1) Pembangkangan (Negativisme); (2) Agresi (aggression); (3) Berselisih/bertengkar (quarreling); (4) Menggoda (teasing); (5) Persaingan (rivarly); (6) Kerjasama (cooperation); (7) Tingkah laku berkuasa (ascendant behavior); (8) Mementingkan diri sendiri (selfishness); (9) Simpati (sympathy).
3.      Hubungan pertemanan ini di tandai dengan semakin terlibatnya anak dalam aktivitas atau interaksi dengan teman sebaya. Ketika memasuki usia SD, anak lebih antusias dan lebih banyak terlibat dalam aktivitas-aktivitas bermain yang bersifat kooperatif (cooperative play). Intensitas hubungan maupun waktu keterlibatannya mengalami peningkatan.
4.      Identitas pribadi seseorang terbentuk melalui perkembangan proses krisis psikososial. Setiap individu akan dihadapkan pada krisis-krisis kehidupan dalam setiap fase perkembangannya. Jika individu mampu mengatasi krisis-krisis yang dihadapinya, maka ia akan memiliki kepribadian yang sehat atau terintegrasi dan kemampuan untuk menguasai lingkungan. Sebaliknya, kalau seseorang gagal menyelesaikan krisis-krisis tersebut, maka ia akan menjadi orang yang hanyut dalam arus kehidupan.
5.      Implikasi terhadap pembelajaran, yakni perlunya aktivitas-aktivitas pendidikan atau pembelajaran baik di kelas maupun di luar kelas yang memberikan banyak kesempatan kepada anak untuk berdialog diantara sesama mereka. Akan lebih baik kalau sekolah menyediakan berbagai kegiatan yang terprogram dan terencana untuk mereka sehingga aktivitas anak-anak dapat lebih terarahkan sesuai dengan yang diharapkan.

B.     Saran
Setelah membaca makalah ini kami sebagai penyusun menyarankan dan mengharapkan terutama kepada mahasiswa calon guru SD masa depan agar memberikan kesempatan kepada semua siswanya untuk mengembangkan dan mengekspresikan emosinya secara wajar, dengan disertai contoh konkrit dari gurunya dalam kehidupan sehari-hari, serta dapat memahami dan memfasilitasi apa yang dibutuhkan oleh siswa untuk mengembangkan bakat yang dimilikinya.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, M. dan Asrori, M. (2005). Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Bumi Aksara.

Yusuf, LN. S. (2011). Psikologi Perkembangan Anak & Remaja. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Budiamin, A., Hafidz, D. dan Daim. (2006). Perkembangan Peserta Didik. Bandung: UPI Press.

Proyek Pendidikan Guru Sekolah Dasar. (1998). Perkembangan dan Belajar Peserta Didik. Jakarta: Depdikbud.

Comments

Popular posts from this blog

LAPORAN HASIL OBSERVASI PENGELOLAAN KELAS DI SDI AL-AZHAR 33 TASIKMALAYA

LAPORAN OBSERVASI PENYIMPANGAN PERILAKU ANAK SD

LAPORAN KARYA WISATA ILMIAH KE YOGYAKARTA