FILSAFAT PENDIDIKAN KONSTRUKTIVISME
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata KuliahFilsafat Pendidikan
Oleh:
Kelompok 9 Kelas
1D
Dede Nurhidayah (1204128)
Ginanjar
Dwiyantoro (1205472)
Mira Dwi Yulia (1205568)
Sitta Nurfazar (1205617)
PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN GURU
SEKOLAH DASAR
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam
keseluruhan hidup manusia. Pendidikan berintikan interaksi antar manusia,
terutama antara pendidik dan terdidik demi mencapai tujuan pendidikan. Dalam
interaksi tersebut terlibat isi yang diinteraksikan serta proses bagaimana
interaksi tersebut berlangsung. Apakah yang menjadi tujuan pendidikan, siapakah
pendidik dan terdidik, apa isi pendidikan dan bagaimana proses interaksi
pendidikan tersebut, merupakan pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban
yang mendasar, yang esensial, yakni jawaban-jawaban filosofis.
Dalam proses pendidikan, aliran konstruktivisme
menghendaki agar anak didik dapat menggunakan kemampuannya secara konstruktif
untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan perkembangan ilmu dan teknologi.
Anak didik harus aktif mengembangkan pengetahuan, bukan hanya menunggu arahan
dan petunjuk dari guru atau sesama siswa. Kreativitas dan keaktifan siswa
membantu untuk berdiri sendiri dalam kehidupan, aliran ini mengutamakan peran
siswa dalam berinisiatif.
Sedangkan
penerapan dalam proses belajar mengajar aliran konstruktivisme memberikan
keleluasaan pada siswa untuk aktif membangun kebermaknaan sesuai dengan
pemahaman yang telah mereka miliki, memerlukan serangkaian kesadaran akan makna
bahwa pengetahuan tidak bersifat obyektif atau stabil, tetapi bersifat temporer
atau selalu berkembang tergantung pada persepsi subyektif individu dan individu
yang berpengetahuan menginterpretasikan serta mengkonstruksi suatu realisasi
berdasarkan pengalaman dan interaksinya dengan lingkungan. Pengetahuan berguna
jika mampu memecahkan persoalan yang ada.
Berdasarkan uraian diatas,
melalui makalah ini penulis merumuskan masalah mengenai apa yang dimaksud
dengan konstruktivisme dan bagaimana pembelajaran menurut konstruktivisme. Hal tersebut sangat perlu dibahas
karena bertujuan agar kita mengetahui apa yang dimaksud dengan konstruktivisme dan bagaimana pembelajaran menurut
konstruktivisme. Dengan pemahaman yang cukup mengenai hal tersebut diatas, maka setiap
individu akan mendapatkan hasil pembelajaran yang optimal.
B.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai
berikut:
1.
Bagaimana latar
belakang perkembangan aliran filsafat konstruktivime dalam pendidikan?
2.
Bagaimana
hakikat pendidikan, tujuan umum pendidikan, hakikat guru, hakikat siswa, dan
hakikat pembelajaran menurut aliran filsafat konstruktivisme?
3.
Bagaimana
implikasi aliran filsafat konstruktivisme dalam praksis pendidikan?
4.
Bagaimana
analisis kritis mengenai aliran filsafat konstruktivisme dalam pendidikan?
C.
Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk memahami
latar belakang perkembangan aliran filsafat konstruktivisme dalam pendidikan.
2.
Untuk memahami
hakikat pendidikan, tujuan umum pendidikan, hakikat guru, hakikat siswa, dan
hakikat pembelajaran menurut aliran filsafat konstruktivisme.
3.
Mengetahui
implikasi aliran filsafat konstruktivisme dalam praksis pendidikan.
4.
Menguraikan
analisis kritis mengenai aliran filsafat konstruktivisme dalam pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
filsafat konstruktivisme
Konstruktivisme berasal dari kata konstruktiv
dan isme. Konstruktiv berarti bersifat membina, memperbaiki, dan
membangun. Sedangkan Isme dalam kamus Bahasa Indonesia berarti paham
atau aliran.
Gagasan pokok aliran ini diawali oleh Gimbatissta
Vico, epistemology dari Italia. Dialah cikal bakal konstruktivisme. Pada tahun
1970, Vico dalam De Antiquissima Italorum Sapientia mengungkapkan filsafatnya
dengan berkata, “Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan
dari ciptaan” . Dia menjelaskan bahwa “mengetahui” berarti mengetahui bagaimana
membuat sesuatu. Bagi Vico pengetahuan lebih menekankan pada struktur konsep
yang dibentuk. Lain halnya dengan para empirisme yang menyatakan bahwa
pengetahuan itu harus menunjuk kepada kenyataan luar. Namun menurut banyak
pengamat, Vico tidak membuktikan teorinya (Suparno: 2008). Sekian lama
gagasannya tidak dikenal orang dan seakan hilang. Kemudian Jean Piagetlah yang
mencoba meneruskan estafet gagasan konstruktivisme, terutama dalam proses
belajar. Gagasan Piaget ini lebih cepat tersebar dan berkembang melebihi
gagasan Vico.
Untuk menjawab bagaimana kita dapat memperoleh
pengetahuan? Kaum konstruktivis menyatakan bahwa kita dapat mengetahui sesuatu
melalui indera kita. Dengan berinteraksi terhadap obyek dan lingkungannya
melalui proses melihat, mendengar, menjamah, membau, merasakan dan lain-lainnya
orang dapat mengetahui sesuatu. Misalnya, dengan mengamati pasir, bermain
dengan pasir, seorang anak membentuk pengetahuannya akan pasir. Bagi kaum
konstruktivis, pengetahuan itu bukanlah suatu yang sudah pasti, tetapi
merupakan suatu proses menjadi. Misalnya, pengetahuan kita akan “anjing” mulai
dibentuk sejak kita masih kecil bertemu dengan anjing. Pengetahuan itu makin
lengkap, disaat kita makin banyak berinteraksi dengan anjing yang
bermacam-macam.
Jadi manusia menkonstruksi pengetahuan mereka melalui
interaksi mereka dengan objek, fenomena, pengalaman dan lingkungan mereka.
Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu dapat berguna untuk
menghadapi dan memecahkan persoalan yang sesuai (Suparno, 2008:28). Menurut
paham konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari
seseorang kepada yang lain, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh
tiap-tiap orang. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi tetapi merupkan
suatu proses yang berkembang terus-menerus. Dan dalam proses itulah keaktivan
dan kesungguhan seseorang dalam mengejar ilmu akan sangat berperan.
Piaget membedakan adanya tiga macam pengetahuan:
pengetahuan fisis, matematis-logis, dan sosial. Pengetahuan fisis adalah
pengetahuan akan sifat-sifat fisis suatu obyek atau kejadian seperti: bentuk,
besar, kekasaran, berat, dan bagaimana benda-benda itu berinteraksi.
Pengetahuan fisis ini didapatkan dari abstraksi langsung suatu obyek.
Pengetahuan matematis-logis adalah pengetahuan yang dibentuk dengan berpikir
tentang pengalaman dengan suatu obyek atau kejadian tertentu. Pengetahuan ini
didapatkan dari abstraksi berdasarkan koordinasi, relasi ataupun penggunaan
obyek. Pengetahuan itu harus dibentuk dari perbuatan berpikir seseorang
terhadap benda itu. Jadi pengetahuannya tidak didapat langsung dari abstraksi
bendanya. Misalnya konsep bilangan. Pengetahuan sosial adalah pengetahuan yang
didapat dari kelompok budaya dan sosial yang secara bersama menyetujui sesuatu.
Pengetahuan ini dibentuk dari interaksi seseorang dengan orang lain (Piaget,
1971 dalam Suparno, 1997). Pengetahuan ini muncul dalam kebudayaan tertentu
maka dapat berbeda antara kelompok yang satu dengan yang lain.
Jadi bisa disimpulkan bahwa konstruktivisme adalah
salah satu aliran filsafat pengetahuan yang berpendapat bahwa pengetahuan itu
merupakan konstruksi (bentukan) dari orang yang sedang belajar. Pengetahuan
bukanlah kumpulan fakta-fakta tetapi merupakan konstruksi kognitif seseorang
terhadap obyek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan bukanlah “sesuatu
yang sudah ada di sana” dan kita tinggal mengambilnya, tetapi merupakan suatu
bentukan terus menerus dari orang yang belajar dengan setiap kali mengadakan
reorganisasi karena adanya pemahaman yang baru (Piaget, 1971).
Filsafat konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan
adalah hasil konstruksi manusia melalui interaksi dengan objek, fenomena
pengalaman dan lingkungan mereka. Konstruktivisme bertitik tolak dari
pembentukan pengetahuan, dan rekonstruksi pengetahuan adalah mengubah
pengetahuan yang dimiliki seseorang yang telah dibangun atau dikonstruk
sebelumnya dan perubahan itu sebagai akibat dari interaksi dengan
lingkungannya.
B.
Konsep Dasar
Aliran Filsafat Konstruktivisme Tentang Pendidikan
1.
Hakikat
pendidikan menurut aliran filsafat konstruktivisme
Teori konstruktivisme adalah suatu proses pembelajaran
yang mengkondisikan siswa untuk melakukan proses aktif membangun konsep baru,
pengertian baru, dan pengetahuan baru berdasarkan data. Oleh karena itu proses
pembelajaran harus dirancang dan dikelola sedemikian rupa sehingga mampu
mendorong siswa untuk mengorganisasi pengalamannya sendiri menjadi pengetahuan
yang bermakna.
Teori ini mencerminkan siswa memiliki kebebasan
berpikir yang bersifat eklektik, artinya siswa dapat memanfaatkan teknik
belajar apapun asal tujuan belajar dapat tercapai.
2.
Tujuan umum
pendidikan menurut aliran filsafat konstruktivisme
Menurut paham konstruktivisme, pengetahuan diperoleh
melalui proses aktif individu mengkonstruksi arti dari suatu teks, pengalaman
fisik, dialog, dan lain-lain melalui asimilasi pengalaman baru dengan
pengertian yang telah dimiliki seseorang. Tujuan pendidikannya menghasilkan
individu yang memiliki kemampuan berpikir untuk menyelesaikan persoalan
hidupnya. Tujuan filsafat pendidikan memberikan inspirasi bagaimana
mengorganisasikan proses pembelajaran yang ideal. Teori pendidikan bertujuan
menghasilkan pemikiran tentang kebijakan dan prinsip-rinsip pendidikan yang didasari
oleh filsafat pendidikan.
3.
Hakikat guru
menurut aliran filsafat konstruktivisme
Menurut prinsip konstruktivis, seorang guru punya
peran sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar siswa
berjalan dengan baik. Maka tekanan diletakkan pada siswa yang belajar dan bukan
pada disiplin ataupun guru yang mengajar. Fungsi sebagai mediator dan
fasilitator ini dapat dijabarkan dalam beberapa tugas antara lain sebagai
berikut:
a.
Menyediakan
pengalaman belajar yang memungkinkan siswa ikut bertanggung jawab dalam membuat
design, proses, dan penelitian. Maka jelas memberi pelajaran atau model ceramah
bukanlah tugas utama seorang guru.
b.
Guru menyediakan
atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingin-tahuan siswa,
membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan mereka dan mengkomunikasikan ide
ilmiahnya (Watt & Pope, 1989). Menyediakan sarana yang merangsang berpikir
siswa secara produktif dan mendukung pengalaman belajar siswa.
c.
Memonitor,
mengevaluasi dan menunjukkan apakah pemikiran siswa itu jalan atau tidak. Guru
menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan siswa itu berlaku untuk
menghadapi persoalan baru yang berkaitan. Guru membantu dalam mengevaluasi
hipotesa dan kesimpulan siswa.
d.
Dalam sistem
konstruktivis guru dituntut penguasaan bahan yang luas dan mendalam. Guru perlu
mempunyai pandangan yang sangat luas mengenai pengetahuan dari bahan yang mau
diajarkan. Penguasaan bahan memungkinkan seorang guru mengerti macam-macam
jalan dan model untuk sampai kepada suatu pemecahan persoalan, dan tidak
terpaku kepada satu model.
Tanggung jawab seorang guru adalah menyediakan dan
memberikan kesempatan sebanyak mungkin untuk belajar secara aktif dimana peran
siswa bisa menciptakan, membangun, mendiskusikan/ membandingkan, bekerjasama,
dan melakukan eksplorasi eksperimentasi (Setyosari, Herianto, Effendi,
Sukadi,1996). Untuk mencapai hal tersebut maka siswa harus didorong dan
distimulasi untuk belajar bagi dirinya sendiri. Dengan demikian tugasnya guru
adalah disamping sebagai pemberi informasi, ia juga bertindak sebagai pemberi
kesempatan kepada para siswa untuk mengumpulkan informasi serta menjamin bahwa
siswa menerima tanggung jawab bagi belajarnya sendiri melalui pengembangan rasa
dan antusias.
Kecenderungan pola pengajaran yang dilakukan tidak
lagi berorientasi pada bagaimana siswa belajar dan berfikir tetapi lebih
cenderung bagaimana guru mengajar di depan kelas. Guru perlu menawarkan
berbagai aktvitas belajar di dalam kelas selama proses belajar berlangsung.
Tugas guru hanyalah mengamati atau mengobservasi, menilai, dan menunjukkan
hal-hal yang perlu dilakukan siswa.
4.
Hakikat murid
menurut aliran filsafat konstruktivisme
Berbeda dengan behaviorisme, konstruktivisme
memfokuskan pada proses-proses pembelajaran bukannya pada perilaku belajar. Para
siswa menciptakan atau membentuk pengetahuan mereka sendiri melalui tingkatan
atau interaksi dengan dunia. Pendekatan konstruktivis sosial juga
memepertimbangkan konteks sosial yang didalamnya pembelajaran muncul dan
menekankan pentingnya interaksi sosial dan negosiasi dalam pembelajaran.
Berkenaan dengan praktik kelas, pendekatan konstruktivis mendukung kurikulum
dan pengajaran student center bukannya teacher center. Siswa adalah kunci
pembelajaran.
Model belajar konstruktivis sangat memperhatikan
jaringan ide-ide yang ada dalam struktur kognitif siswa. Pengetahuan bukanlah
gambaran dari suatu realita. Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu
konstruksi kognitif melalui kegiatan mental seseorang. Transformasi pengetahuan
dalam konstruktivisme adalah pergeseran siswa sebagai penerima pasif informasi
menjadi pengkonstruksi aktif dalam proses pembelajaran. Siswa dipandang sebagai
subyek yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan kemampuan masing-masing.
5.
Hakikat
pembelajaran menurut aliran filsafat konstruktivisme
Menurut kaum konstruktivis, belajar merupakan proses
aktif pelajar mengkonstruksikan arti sebuah teks, dialog, pengalaman fisis, dan
lain-lain. Belajar juga merupakan proses mengasimilasikan dan menghubungkan
pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan pengertian yang sudah dipunyai
seseorang sehingga pengertiannya dikembangkan. Proses tersebut antara lain
bercirikan sebagai berikut:
a.
Belajar berarti
membentuk makna. Makna diciptakan oleh siswa dari apa yang mereka lihat,
dengar, rasakan dan alami. Konstruksi arti itu dipengaruhi oleh pengertian yang
telah ia punyai.
b.
Konstruksi arti
adalah proses yang terus menerus. Setiap kali berhadapan dengan fenomena atau
persoalan yang baru, diadakan rekonstruksi, baik secara kuat maupun lemah.
c.
Belajar bukanlah
kegiatan mengumpulan fakta, melainkan lebih suatu pengembangan pemikiran dengan
membuat pengertian yang baru. Belajar bukanlah hasil perkembangan, melainkan
merupakan perkembangan itu sendiri (Fosnot, 1996), suatu perkembangan yang
menuntut penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang.
d.
Proses belajar
yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan yang merangsang
pemikiran lebih lanjut situasi ketidakseimbangan (disequilibrium) adalah
situasi yang baik untuk memacu belajar.
e.
Hasil belajar
dipengaruhi oleh pengalaman pelajar dengan dunia fisik dan lingkungan.
f.
Hasil belajar
seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui pelajar konsep-konsep,
tujuan, dan motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan bahan yang dipelajari
(Paul Suparno 2001:61).
Sehingga bisa dikatakan bahwa belajar adalah lebih
merupakan suatu proses untuk menemukan sesuatu, daripada suatu proses untuk
mengumpulkan sesuatu. Belajar bukanlah suatu kegiatan mengumpulkan fakta-fakta,
tetapi suatu perkembangan pemikiran yang berkembang dengan membuat kerangka
pengertian yang baru. Siswa harus punya pengalaman dengan membuat hipotese,
predikti, mengetes hipotesa, memanipulasi objek, memecahkan persoalan, mencari
jawaban, menggambarkan, meneliti, berdialog, mengadakan refleksi, mengungkapkan
pertanyaan, mengekspresikan gagasan, dan lain-lain untuk membentuk konstruksi
yang baru.
Setiap siswa mempunyai cara untuk mengerti sendiri.
Maka penting bahwa setiap siswa mengerti kekhasan, keunggulan dan kelemahannya
dalam mengerti sesuatu. Mereka perlu menemukan cara belajar yang tepat bagi
mereka sendiri. Setiap siswa mempunyai cara yang cocok untuk mengkonstruksikan
pengetahuannya yang kadang sangat berbeda dengan teman-teman yang lain. Dalam
kerangka ini, sangat penting bahwa siswa dimungkinkan untuk mencoba
bermacam-macam cara belajar yang cocok dan juga penting bagi guru menciptakan
bermacam-macam situasi dan metode yang membantu siswa. Satu model belajar dan
mengajar tidak akan membantu banyak siswa.
C.
Aliran Filsafat
Konstruktivisme Dalam Praksis Pendidikan
1.
Implikasi
konstruktivisme terhadap proses pembelajaran
Ada sejumlah implikasi yang relevan terhadap proses
pembelajaran berdasarkan pemikiran konstruktivisme personal dan sosial.
Implikasi itu antara lain sebagai berikut:
a.
Kaum
konstruktivis personal berpendapat bahwa pengetahuan diperoleh melalui
konstruksi individual dengan melakukan pemaknaan terhadap realitas yang
dihadapi dan bukan lewat akumulasi informasi. Implikasinya dalam proses
pembelajaran adalah bahwa pendidik tidak dapat secara langsung memberikan
informasi, melainkan proses belajar hanya akan terjadi bila peserta didik
berhadapan langsung dengan realitas atau objek tertentu. Pengetahuan diperoleh
oleh peserta didik atas dasar proses transformasi struktur kognitif tersebut.
Dengan demikian tugas pendidik dalam proses pembelajaran adalah menyediakan
objek pengetahuan secara konkret, mengajukan pertanyaan-pertanyaan sesuai
dengan pengalaman peserta didik atau memberikan pengalaman-pengalaman hidup
konkret (nilai-nilai, tingkah laku, sikap) untuk dijadikan objek pemaknaan.
b.
Kaum
konstruktivis berpendapat bahwa pengetahuan dibentuk dalam diri individu atas
dasar struktur kognitif yang telah dimilikinya, hal ini berimplikasi pada
proses belajar yang menekankan aktivitas personal peserta didik. Agar proses
belajar dapat berjalan lancar maka pendidik dituntut untuk mengenali secara
cermat tingkat perkembangan kognitif peserta didik. Atas dasar pemahamannya
pendidik merancang pengalaman belajar yang dapat merangsang struktur kognitif
anak untuk berpikir, berinteraksi membentuk pengetahuan yang baru. Pengalaman
yang disajikan tidak boleh terlalu jauh dari pengetahuan peserta didik tetapi
juga jangan sama seperti yang telah dimilikinya. Pengalaman sedapat mungkin
berada di ambang batas antara pengetahuan yang sudah diketahui dan pengetahuan
yang belum diketahui sebagai zone of proximal development of knowledge.
Terkait dengan kedua hal di atas, maka dalam proses
pembelajaran seorang pendidik harus menciptakan pengalaman yang autentik dan
alami secara sosial kultural untuk para peserta didiknya. Materi pembelajaran
sungguh harus kontekstual, relevan dan diambil dari pengalaman sosio budaya
setempat. Pendidik tidak dapat memaksakan suatu materi yang tidak terkait
dengan kehidupan nyata peserta didik. Pemaksaan hanya akan menimbulkan penolakan
atau menimbulkan kebosanan atau akan menghambat proses perkembangan pengetahuan
peserta didik.
Bagi kaum konstruktivis, belajar adalah proses
mengkonstruksi pengetahuan. Proses konstruksi itu dilakukan secara pribadi dan
sosial. Proses ini adalah proses aktif, sedangkan mengajar bukanlah memindahkan
pengetahuan dari guru ke siswa, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan
siswa membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti partisipasi dengan
siswa dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, dan
bersikap kritis. Jadi mengajar adalah suatu bentuk belajar sendiri. Penggunaan
pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran akan membawa implikasi sebagi
berikut:
a.
Isi Pembelajaran
Dalam pembelajaran dengan menggunakan pendekatan
konstruktivisme, guru tidak dapat menentukan secara spesifik isi atau bahan
yang harus dipelajari oleh siswa, tetapi hanya sebatas memberikan rambu-rambu
bahan pembelajaran yang sifatnya umum.Dalam belajar secara konstruktivis, siswa
harus membentuk pengertian dari berbagai sudut pandang, maka dalam proses
belajarnya tidak bisa dipisahkan dengan dunia riil dan informasi dari berbagai
sumber. Di kelas siswa harus dimotivasi untuk mencari sudut pandang baru dan
mempertimbangkan sumber data alternatif.
b.
Tujuan Pembelajaran
Tugas guru dalam pembelajaran dengan pendekatan
konstruktivisme adalah membantu siswa untuk membangun pengetahuannya sendiri
melalui proses internalisasi, pembentukan kembali, dan transformasi informasi
yang telah diperolehnya menjadi pengetahuan baru. Transformasi terjadi kalau
ada pemahaman (understanding), sedangkan pemahaman terjadi sebagai
akibat terbentuknya struktur kognitif baru dalam pikiran siswa. Pemahaman
terjadi kalau terjadi proses akomodasi atau perubahan paradigma dalam pikiran
siswa. Berlandaskan teoritik, tujuan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan
konstruktivisme adalah membangun pemahaman. Pemahaman dinilai penting, karena
pemahaman akan memberikan makna kepada apa yang dipelajari. Karena itu tekanan
belajar bukanlah untuk memperoleh atau menemukan lebih banyak, akan tetapi yang
lebih penting adalah memberikan interpretasi melalui skema atau struktur
kognitif yang berbeda.
c.
Strategi Pembelajaran
Tugas guru adalah membantu agar siswa mampu
mengkonstruksi pengetahuannya sesuai dengan situasi konkrit, maka strategi
pembelajaran yang digunakan perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan situasi
siswa. Guru tidak dapat memastikan strategi yang digunakan, yang dapat hanya
sebatas tawaran dan saran. Dalam hal ini teknik dan seni yang dimiliki guru
ditantang untuk mengoptimalkan pembelajaran.
d.
Penataan Lingkungan Belajar
Penataan lingkungan belajar berdasar pendekatan
konstruktivistik diidentifikasikan dengan alternatif sebagai berikut; (1)
menyediakan pengalaman belajar melalui proses pembentukan pengetahuan dimana
siswa ikut menentukan topik/sub topik yang mereka sikapi, metode pembelajaran
beriku tstrategi pembelajaran yang dipergunakan, (2) menyediakan pengalaman
belajar yang kaya akan alternatif seperti peninjauan masalah dari berbagai
segi, (3) mengintegrasikan proses belajar dengan konteks yang nyata dan relevan
dengan harapan siswa dapat menerapkan pengetahuan yang didapat dalam hidup
sehari-hari, (4) memberikan kesempatan pada siswa untuk menentukan isi dan arah
belajar mereka dengan menempatkan guru sebagai konsultan, (5) peningkatan
interaksi antara guru dengan siswa dan antar siswa sendiri, (6) meningkatkan
penggunaan berbagai sumber belajar disamping komunikasi tertulis dan lisan, (7)
meningkatkan kesadaran siswa dalam proses pembentukan pengetahuan mereka agar
siswa mampu menjelaskan mengapa/bagaimana mereka memecahkan masalah dengan cara
tertentu.
e.
Hubungan Guru-Siswa
Dalam aliran kostruktivisme, guru bukanlah seseorang
yang mahatahu dan siswa bukanlah yang belum tahu, karena itu harus diberi tahu.
Dalam proses belajar, siswa aktif mencari tahu dengan membentuk pengetahuannya,
sedangkan guru membantu agar pencarian itu berjalan baik. Dalam banyak hal guru
dan siswa bersama-sama membangun pengetahuan. Dalam hal ini hubungan guru dan siswa
lebih sebagai mitra yang bersamasama membangun pengetahuan.
2.
Implikasi
konstruktivisme terhadap pendidik dan peserta didik
a.
Pendidik dalam
proses pembelajaran harus mendorong terjadinya kegiatan kognitif tingkat tinggi
seperti mengklasifikasi, menganalisis, menginterpretasikan, memprediksi dan
menyimpulkan, dll.
b.
Pendidik
merancang tugas yang mendorong peserta didik untuk mencari pemecahan masalah
secara individual dan kolektif sehingga meningkatkan kepercayaan diri yang
tinggi dalam mengembangkan pengetahuan dan rasa tanggungjaawab pribadi.
c.
Dalam proses
pembelajaran, pendidik harus memberi peluang seluas-luasnya agar terjadi proses
dialogis antara sesama peserta didik, dan antara peserta didik dengan pendidik,
sehingga semua pihak merasa bertanggung jawab bahwa pembentukan pengetahuan
adalah tanggungjawab bersama. Caranya dengan memberi pertanyaan-pertanyaan,
tugas-tugas yang terkait dengan topik tertentu, yang harus dipecahkan, didalami
secara individual ataupun kolektif, kemudian diskusi kelompok, menulis , dialog
dan presentasi di depan teman yang lain.
Dapat kita jelaskan peranan antara pendidik dan
peserta didik menurut aliran konstruktivisme adalah sebagai berikut:
No.
|
Peranan Peserta Didik
|
Peranan Pendidik
|
1.
|
Berinisiatif mengemukakan masalah dan pokok pikiran,
kemudian menganalisis dan menjawabannya sendiri.
|
Mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif sendiri
dan keterlibatan aktif dalam kegiatan belajar.
|
2.
|
Bertanggung jawab sendiri terhadap kegiatan
belajarnya atau penyelesaian suatu masalah.
|
Memusatkan perhatian kepada proses berpikir atau
proses mental siswa, bukan kepada kebenaran jawaban siswa saja.
|
3.
|
Secara aktif bersama dengan teman sekelasnya
mendiskusikan penyelesaian masalah atau pokok pikiran yang mereka munculkan,
dan apabila dirasa perlu dapat menanyakannya kepada guru.
|
Guru perlu fleksibel dalam merespons jawaban atau
pemikiran siswa. Menghargai pemikiran siswa dan meghindari perkataan “Ini
satu-satunya jawaban benar”
|
4.
|
Atas inisiatif sendiri dan mandiri berupaya
memperoleh pemahaman yang mendalam (deep understanding) terhadap suatu topik
masalah belajar.
|
Guru perlu menyediakan pengalaman belajar dengan
mengkaitkan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sehingga belajar sebagai
proses konstruksi pengetahuan dapat terwujud.
|
5.
|
Secara aktif mengajukan dan menggunakan berbagai
hipotesis (kemungkinan jawaban) dalam memecahkan suatu masalah.
|
Memaklumi akan adanya perbedaan individual, termasuk
dalam hal perkembangan kognitif siswa.
|
6.
|
Secara aktif mengajukan berbagai data atau informasi
pendukung dalam penyelesaian suatu masalah atau pokok pikiran yang
dimunculkan sendiri atau yang telah dimunculkan oleh teman sekelas.
|
Guru perlu menyampaikan tujuan pembelajaran dan apa
yang akan dipelajari di awal kegiatan belajar. Hal ini akan mempengaruhi
keaktifan siswa, karena ia tahu apa yang akan di pelajari dan untuk apa ia
terlibat dalam pembelajaran.
|
7.
|
Secara kreatif dan imajinatif mengaitkan antara
gagasan yang telah dimiliki dengan informasi baru yang diterima.
|
Guru perlu banyak berinteraksi dengan siswa untuk
dapat mengetahui apa yang telah mereka ketahui dan apa yang mereka pikirkan.
|
D.
Analisis Kritis
1.
Kelebihan dan
kekekurangan konstruktivisme dalam pembelajaran
Berdasarkan pendekatan konstruktivisme di atas,
memiliki kelebihan atau keunggulan dibaindingkan dengan pendekatan yang lain
yaitu,
a.
Guru bukan satu-satunya sumber belajar. Peserta didik menurut konstruktivisme adalah peseta didik yang aktif
mengkonstruksi pengetahuan yang dia dapat. Jadi guru dalam pembelajaran
konstruktivisme hanya fasilitator, bukan model atau sumber utama yang bertugas
untuk mentransfer ilmu pada siswa.
b.
Pembelajar lebih aktif dan kreatif. Sebagai akibat konstruksi mandiri pembelajar terhadap sesuatu, pembelajar
dituntut aktif dan kreatif untuk mengaitkan ilmu baru yang mereka dapat dengan
pengalaman mereka sebelumnya sehingga tercipta konsep yang sesuai dengan yang
diharapkan.
c.
Pembelajaran menjadi lebih bermakna. Belajar bermakna berarti mengkonstruksi informasi dalam struktur
pengertian lamanya. Jadi dapat dijabarkan bahwa dalam konstruktivisme,
pembelajar mendapatkan ilmunya tidak hanya dengan mendengarkan penjelasan
gurunya, tetapi juga dengan mengaitkan pengalaman pribadi mereka dengan
informasi baru yang mereka dapat.
d.
Pembelajar memiliki kebebasan belajar. Kebebasan disini berarti bahwa pembelajar dapat dengan bebas
mengkonstruksi ilmu baru itu sesuai pengalamannya sebelumnya, sehingga tercipta
konsep yang diinginkan.
e.
Perbedaan individual terukur dan dihargai. Karena proses belajar sesuai konstruktivisme adalah
proses belajar mandiri, maka potensi individu akan terukur dengan sangat jelas.
f.
Membina sikap produktif dan percaya diri. Pembelajar diharapkan selalu mengkonstruksi ilmu barunya, sehingga mereka
akan produktif menciptakan konsep baru tentang sesuatu untuk diri mereka
sendiri.
g.
Proses evaluasi difokuskan pada penilaian proses. Dalam praktek pengajaran, penyelesaian materi dan
hasil bukanlah merupakan hal terpenting. Yang lebih penting adalah proses
pembelajaran yang lebih menekankan partisipasi murid. Belajar adalah kegiatan
murid untuk membentuk pengetahuan.
h.
Berfikir proses
membina pengetahuan baru, murid berfikir untuk menyelesaikan masalah, dan
membuat keputusan.
i.
Faham, karena
murid terlibat secara langsung dalam mebina pengetahuan baru, mereka akan lebih
faham dan boleh mengaplikasikannya dalam semua situasi.
j.
Ingat :karena
murid terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama semua
konsep.
k.
Kemahiran sosial
:Kemahiran sosial diperoleh apabila berinteraksi dengan teman dan guru dalam
membina pengetahuan baru.
Disisi lain pendekatan konstruktivisme juga memiliki
kelemahan diantaranya adalah:
a.
Kemauan dan
kemampuan belajar yang lemah dari pembelajar akan mengakibatkan proses
konstruksi menjadi terhambat, karena dalam filsafat konstruktifisme yang
berperan aktif dalam pembelajaran adalah pembelajar.
b.
Terkadang
pembelajar tidak memiliki ketekunan dan keuletan dalam mengkonstruksi
pemahamannya terhadap sesuatu, itu bisa saja menjadi kendala dalam prosesnya
mengerti sesuatu.
c.
Pembelajaran
kelas dapat lama, bila ada beberapa siswa yang kurang cepat berpikir.
d.
Gerak kelas
dapat sangat berlainan bila siswanya beraneka inteligensi.
e.
Pengaturan kelas
kadang lebih sulit.
f.
Pendekatan
konstruktivisme memerlukan alokasi waktu yang lebih panjang dibandingkan dengan
pendekatan pembelajaran yang lain, membutuhkan kelengkapan sarana/prasarana dan
media penunjang pembelajaran serta menuntut adanya ketrampilan dan kecakapan
lebih dari guru dalam mengelola kelas yang dikembangkan dengan pendekatan model
pembelajaran konstruktivisme.
2.
Kendala dalam
penerapan pembelajaran menurut konstruktivisme
Konstruktivisme memberikan angin segar bagi perbaikan
proses dan hasil belajar. Walaupun demikian, terdapat pula kendala yang muncul
dalam penerapan pembelajaran menurut konstruktivisme di kelas. Kendala-kendala
yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a.
Sulit mengubah keyakinan dan kebiasaan guru. Guru selama ini telah
terbiasa mengajar dengan menggunakan pendekatan tradisional, mengubah kebiasaan
ini merupakan suatu hal yang tidak mudah.
b.
Guru kurang tertarik dan mengalami kesulitan mengelola kegiatan
pembelajaran berbasis konstruktivisme. Guru konstruktivis dituntut untuk lebih
kreatif dalam merencanakan kegiatan pembelajaran dan dalam memilih menggunakan
media yang sesuai.
c.
Adanya anggapan guru bahwa penggunaan metode atau pendekatan baru dalam
pembelajaran akan menggunakan waktu yang cukup besar. Guru khawatir target
pencapaian kurikulum (TPK) tidak tercapai.
d.
Sistem evaluasi yang masih menekankan pada nilai akhir. Padahal yang
terpenting dari suatu pembelajaran adalah proses belajarnya bukan hasil
akhirnya.
e.
Besarnya beban mengajar guru, latar pendidikan guru tidak sesuai dengan
mata pelajaran yang diasuh, dan banyaknya pelajaran yang harus dipelajari siswa
merupakan yang cukup serius.
f.
Siswa terbiasa menunggu informasi dari guru. Siswa akan belajar jika
ada transfer pengetahuan dan tugas-tugas dari gurunya. Mengubah sikap “menunggu
informasi” menjadi “pencari dan pengkonstruksi informasi” merupakan kendala itu
sendiri.
g.
Adanya budaya negatif di lingkungan siswa. Salah satu contohnya di
lingkungan rumah. Pendapat orang tua selalu dianggap paling benar, anak
dilarang membantah pendapat orang tuanya. Kondisi ini juga terbawa ke sekolah.
Siswa terkondisi untuk “mengiakan” pendapat atau penjelasan guru. Siswa tidak
berani mengemukakan pendapatnya yang mungkin berbeda dengan gurunya.
3.
Solusi mengatasi
masalah yang timbul dalam pendidikan
a.
Guru, sebagai
subjek sentral dalam pendidikan harus memiliki wawasan baru dan luas dalam
model-model pembelajaran.
b.
Sekolah dan
penyelenggaranya harus memiliki visi dan misi yang jelas yang menjangkau masa
depan, dan melengkapi dengan sarana prasarana yang memadai.
c.
Dibutuhkan
keberanian dari pelaku-pelaku pendidikan untuk secara kritis menyikapi berbagai
perubahan dan membuat terobosan.
d.
Peserta didik
tidka lagi dijadikan asset yang mampu menjual nama baik lembaga, tetapi harus
diberi kesempatan berkembang secara optimal dan alamiah.
e.
Sebaiknya system
UAN dikaji kembali, untuk melihat efektivitasnya untuk kelangsungan generasi
muda berikutnya. Jangan sampai system UAN menjerumuskan siswa yang mungkin tidak
berbakat pada materi yang diujikan tapi berbakat pada keterampilan lain. Itu
akan membatasi kreativitas siswa.
f.
Bagi guru yang
akan mempersiapkan UAN untuk siswanya, sebaiknya mempersiapkannya dari
jauh-hari,agar tidak terkesan mengejar waktu, hingga akhirnya mengorbankan
kesempatan siswa untuk berpartisipasi aktif dalam kelas.
g.
Jika UAN ingindilanjutkanpelaksanaannya,
sebaiknyalebihmemperhatikanpenilaian proses, tidakhanyapenilaianprodukakhir.
Mungkininibisadilakukandenganmenggantijenissoal, sehinggadapatmengukurkasitassiswasecaramurni.
4.
Konstruktivisme
dapat meningkatkan mutu pendidikan, namun pelaksanaannya tidak mutlak dapat
diterapkan pada semua kondisi pendidikan di Indonesia, perlu penyesuaian dengan
kondisi lapangan yang ada.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Filsafat konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan
adalah hasil konstruksi manusia melalui interaksi dengan objek, fenomena
pengalaman dan lingkungan mereka. Konstruktivisme bertitik tolak dari
pembentukan pengetahuan, dan rekonstruksi pengetahuan adalah mengubah
pengetahuan yang dimiliki seseorang yang telah dibangun atau dikonstruk
sebelumnya dan perubahan itu sebagai akibat dari interaksi dengan
lingkungannya.
Kaum konstruktivis berpendapat bahwa pengetahuan
dibentuk dalam diri individu atas dasar struktur kognitif yang telah
dimilikinya, hal ini berimplikasi pada proses belajar yang menekankan aktivitas
personal peserta didik. Agar proses belajar dapat berjalan lancar maka pendidik
dituntut untuk mengenali secara cermat tingkat perkembangan kognitif peserta
didik. Atas dasar pemahamannya pendidik merancang pengalaman belajar yang dapat
merangsang struktur kognitif anak untuk berpikir, berinteraksi membentuk
pengetahuan yang baru. Pengalaman yang disajikan tidak boleh terlalu jauh dari pengetahuan
peserta didik tetapi juga jangan sama seperti yang telah dimilikinya.
Pengalaman sedapat mungkin berada di ambang batas antara pengetahuan yang sudah
diketahui dan pengetahuan yang belum diketahui sebagai zone of proximal
development of knowledge.
Bagi aliran konstruktivisme, guru tidak lagi menduduki
tempat sebagai pemberi ilmu. Tidak lagi sebagai satu-satunya sumber belajar.
Namun guru lebih diposisikan sebagai fasiltator yang memfasilitasi siswa untuk
dapat belajar dan mengkonstruksi pengetahuannya sendiri (Hudojo, 1998:5-6).
Aliran ini lebih menekankan bagaimana siswa belajar bukan bagaimana guru
mengajar.
B.
Saran
Filsafat konstruktivisme harus dipahami sebagai roh
yang menggerakkan subyek-subyek pendidikan sehingga akan lahirlah inovasi-inovasi
baru dalam pendidikan dan pengajaran. Saran yang dapat penulis berikan pada
penulisan makalah ini adalah sebaiknya sistem pembelajaran yang diterapkan
mengacu pada pendekatan konstruktivisme karena dari karakteristik
pembelajarannya yang dapat memberikan sumbangan besar dalam membentuk manusia
yang kreatif, produktif, dan mandiri.
Guru, sebagai subjek sentral dalam pendidikan harus
memiliki wawasan baru dan luas dalam model-model pembelajaran. Sekolah dan
penyelenggaranya harus memiliki visi dan misi yang jelas yang menjangkau masa
depan, dan melengkapi dengan sarana prasarana yang memadai sehingga peserta
didik bisa berkembang secara optimal dan alamiah.
DAFTAR PUSTAKA
Sadulloh, Uyoh.
2003. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: CV Alfabeta.
Mudyahardjo,
Redja. 2001. Pengantar Pendidikan. Bandung: PT RajaGrafindo Persada.
Alwasilah, A.
Chaedar. 2008. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Comments
Post a Comment